MANADO, ZONAUTARA.com – Hasrat Muhammad Yaqub bersama keluarganya untuk mencari suaka di Australia harus tertahan. Warga negara Afganistan dari etnis Hazara ini sudah tujuh tahun menjadi penghuni Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado setelah dipindahkan dari Rudenim Sumbawa tahun 2010.
Dalam kesempatan wawancara dengan wartawan Zona Utara, Selasa (5/12/2017), pria 60 tahun itu menceritakan perjalanan panjangnya ketika harus memboyong keluarganya dan memilih keluar dari Afganistan pada tahun 2000. Meski waktu itu istrinya Aqilah tengah hamil besar dan kedua anaknya, Zajjad dan Zahra, masih berumur belia, tekadnya untuk keluar dari Afganistan tak bisa lagi dibendung. Kekejaman yang dilakukan Taliban kian mengancam keselamatan siapa saja yang tidak menganut paham Sunni.
“Taliban yang merupakan Islam Sunni, sangat memusuhi aliran Syiah. Siapapun yang beraliran Syiah akan ditangkap dan dibunuh oleh Taliban,” ujar Yaqub.
Akhirnya ia memutuskan untuk membawa keluarganya pergi mencari suaka ke negara ketiga. Australia yang hendak dituju. Yaqub dihubungi seorang yang pintar tiga bahasa, Inggris, Indonesia, dan Afganistan, dan menawarkan jasa untuk membantu mendapatkan suaka di Australia. Meski tak mengenal orang tersebut, namun tawaran untuk membantu keluar dari Afganistan diterimanya.
Diapun menyiapkan dana sebanyak 10 ribu dolar Amerika untuk biaya pengurusan transportasi udara, laut dan kelengkapan dokumen. Ia bersama istri dan kedua anaknya lewat penerbangan udara tiba di Indonesia. Waktu mereka bersama lima orang famili keluarga kakaknya.
“Tanpa ada waktu istirahat, kami pun langsung melanjutkan pelayaran dengan kapal laut yang terbuat dari kayu, dengan tujuan Australia,” kenang Yaqub.
Sampai mereka naik kapal laut, ia pun tidak pernah melihat batang hidung calo yang membantu perjalanan mereka. Ada sekitar 100 orang yang berada dalam kapal itu. Setelah selama 12 hari bertarung melawan ombak, akhirnya perjalanan harus terhenti karena mesin kapal mengalami kerusakan.
Mereka kemudian berlabuh di Sumbawa Barat. Saat berlabuh itulah mereka langsung diamankan polisi yang kemudian menghubungi petugas Imigrasi. Ada sekitar 40 penumpang kapal yang berhasil melarikan diri.
“Saya tidak mengenal mereka dan jugatidak tahu juga bagaimana nasib mereka. Tapi rupanya tujuan mereka sama seperti tujuan kami,” jelasnya.
Kata Yaqub, penumpang kapal yang tersisa kemudian dibagi dua. 24 orang di antaranya dikirim ke Kupang, sedangkan ia bersama keluarganya ditahan di Rudenim Sumbawa Barat, di bawah pengawasan ketat Imigrasi.
“Waktu itu saya harus menjaga keluarga saya. Apalagi istri saya barusan melahirkan putra saya yang bernama Yahya saat masih di kapal,” jelas Yaqub.
Di Sumbawa Barat ini mereka sangat lama. 10 tahun. Tanpa kejelasan masa depan dan status kewarganegaraan. Tahun 2003, saat masih di Sumbawa Barat, putra keempat saya lahir. Anak itu dinamakan Tahanan PBB.
Tahun 2010, mereka dipindahkan di Manado dan hingga kini masih menghuni Rudenim Manado. Tak lama setelah dipindahkan dari Sumbawa Barat itu, putri kelimanya lahir. Anak itu dinamakan Tahanan PBB Nomor Dua.
“Sekarang sudah berusia tujuh tahun dan sementara duduk di kelas 1 SD N 54 Manado. Kakaknya yang bernama Tahanan PBB sementara duduk di bangku kelas 3 SMP Negeri 2 Manado,” terang Yaqub.
Setelah sekitar 17 tahun hidup di Indonesia tanpa kejelasan status kewarganegaraan, Yaqub pun berkeinginan untuk kembali lagi ke negara asalnya Afganistan. Namun dengan syarat tidak ada lagi tentara negara asing di negaranya.
Editor: Rahadih Gedoan