Oleh: Amato Assagaf
Jika kamu ingin bahagia, percayalah. Jika kamu ingin kebenaran, carilah.
Nietzsche
Persoalan kita dengan terorisme bukanlah dengan apa yang dilakukan para teroris tapi dengan apa yang menyebabkan adanya kebutuhan untuk menjadi teroris. Dalam cara ini, kita akan bisa melihat terorisme sebagai akibat dari sebab yang lebih dalam. Iaitu, jalinan timbal-balik antara kebodohan dengan fanatisme.
Kebodohan berlangsung dalam banyak macam. Dalam bukunya “Less Than Nothing” Zizek menyebut dua jenis kebodohan. Pertama, idiot, yang dia jelaskan secara filosofis sebagai orang yang sangat cerdas tapi terlepas dari konteks. Idiot memahami situasi secara logis, cerdas tentunya dari sudut pandang tertentu, tapi tanpa sandarannya pada aturan kontekstual. Dia menyebut dirinya dan Alan Turing sebagai contoh idiot. Menonton “The Immitation Game” akan memberi kita gambaran mengenai jenis idiotisme ini.
Jenis kebodohan kedua, menurut Zizek, adalah moron. Berlawanan dengan idiot, kebodohan jenis ini teridentifikasi sepenuhnya dengan akal bersama (common sense) atau apa yang bisa juga disebut sebagai superego telanjang. Dia menyebut beberapa tokoh fiksi sebagai contohnya, seperti dokter Watson yang menjadi pasangan Sherlock Holmes. Zizek menyebutkan juga soal jenis kebodohan ketiga, imbesil. Tapi itu tak lagi penting manakala kita bisa melihat bahwa kebodohan yang kita maksudkan sebagai latar psiko-kultural dari kemunculan pelaku terorisme adalah jenis kebodohan yang kedua itu, moronisme.
Tentu saja pertimbangan Zizek dalam memberi penjelasan atas kebodohan ini tidak berangkat dari psikologi atau neurosains, Zizek dan Turing jelas tidak memiliki IQ 0-25 yang merupakan tingkat IQ seorang idiot. Penjelasannya sepenuhnya berangkat dari pertimbangan filsafat. Dan dari penjelasan itu boleh kita renungi bahwa kebodohan sebagai akar permasalahan terorisme adalah kebodohan moronik.
Jenis kebodohan ini, dalam logika Zizekian, membela “kebenaran” dari terma-terma superego, seperti moralitas, agama, dan berbagai bentuk akal bersama yang telah diterima secara taken for granted. Kebenaran itu dipegang dengan cara menggenggam yang sepenuhnya didasari oleh sikap kepala batu. Dan inilah peluang besar bagi terciptanya fanatisme.
Keadaan konseptual ini mengingatkan saya akan cerita menarik mengenai cara orang menangkap kera di Thailand. Mereka hanya perlu meletakan umpan di dalam kurungan yang hanya bisa diraih lewat lobang seukuran telapak tangan terbuka. Kera yang disasar akan memasukkan tangan mereka ke dalam kurungan itu dan menggenggam umpan.
Persoalannya, saat umpan tergenggam dan telapak tangan membentuk kepalan, sang kera tidak akan bisa lagi mengeluarkan tangannya dari lobang tersebut. Maka saat datang sang pemburu, kera itu hanya punya dua pilihan: melepaskan umpan agar bisa meloloskan tangannya dari kurungan atau tetap menggenggam umpannya dan tidak bisa melarikan diri.
Kera yang bersikukuh tidak mau melepaskan umpan yang telah digenggamnya itu adalah contoh yang baik dari bentuk fanatisme yang dimaksudkan di sini. Dalam situasi kebenaran yang nyata, para fanatikus tidak akan pernah mau melepaskan jenis “kebenaran” yang telah mereka genggam. Dan sejauh cerita di atas benar, sepertinya para kera itu jarang ada yang memilih untuk melepaskan “kebenaran” mereka di hadapan kebenaran yang nyata bahwa itu akan membuat mereka menjadi korban dari para pemburu.
Sekedar keterangan atas apa yang disebut sebagai “kebenaran yang nyata” adalah “kenyataan” sebagai terjemahan dari “reality” yang dibedakan dari “appearance” atau “penampilan” dalam metafisika memuat di dalam konsepsinya makna “kebenaran” sebagai lawan “kekeliruan” yang termuat dalam hal yang sekedar tampilan. Dalam hal ini, sebuah “kebenaran” mendapatkan ujiannya dalam kerangka “kebenaran yang nyata” seperti yang dimaksudkan ini.
Tapi apa yang disebut sebagai “kebenaran yang nyata” di dalam filsafat bukanlah sebuah paket kebenaran siap jadi dan bisa, serta harus, disepakati bersama. Ia adalah apa yang kita uji dalam dirinya sendiri (baca: secara imanen). Dan justru pada titik inilah, keniscayaan untuk menguji kebenaran secara imanen ini, yang membuat fanatisme atas suatu jenis “kebenaran” menjadi bahaya bukan hanya bagi kemajuan intelektual tapi juga bagi kemanusiaan.
Fanatisme, dalam pengertiannya yang paling ekstrim, tentu saja membutuhkan para moron. Yakni orang-orang yang melihat “kebenaran” sebagai persoalan sederhana dari penampakan superego yang menyediakan bagi mereka apa yang bisa mereka genggam sebagai “kebenaran” lengkap dengan kewajiban untuk menegakkan “kebenaran” tersebut kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apa saja. Akibatnya, kita menemukan terorisme.
Jika demikian, maka kerangka konseptual bagi analisa sosio-historis atas terorisme di negeri ini adalah kemunculan sikap anti-intelektual dalam masyarakat kita. Intelektual tentu saja bukan akademisi, bukan pula para pakar, tapi mereka yang berminat untuk terus mencari kebenaran dalam gagasan-gagasan, konsep-konsep, kritisisme, keketatan berpikir, dan perenungan yang mendalam. Sebentuk minat yang saat ini telah tergerus dalam pergaulan sosial kita. Sebelumnya, minat ini telah menjadi mustahil dalam kecenderungan kita untuk berpegang pada apa yang boleh kita sebut sebagai prinsip-prinsip akal bersama, misalnya, agama tidak mungkin keliru, moralitas bersifat tunggal dan mencakup segalanya, mayoritas adalah akhirul kalam, dan seterusnya, dan seterusnya.
Kita tentunya tidak boleh menyerah pada terorisme tapi apakah itu berarti kita juga tidak akan menyerah pada kebodohan dan fanatisme yang merupakan sebabnya? Dengan sedikit bermuram hati kita akan menemukan sekian bukti bahwa masyarakat kita, termasuk saya dan Anda, telah terlalu lama terbuai pada bentuk-bentuk tertentu dari kebodohan dan fanatisme ini. Kita menyebutnya, dengan gagah, sebagai keyakinan. Kepercayaan yang sudah ditetapkan agar kita tidak terombang-ambing dalam dunia yang, katanya, semakin kacau ini. Prinsip, kata Anda dengan sikap gagah yang sama.
Benarkah? Saya kira tidak. Terus menerus mempertanyakan apa yang telah kita yakini sebagai “prinsip” dan “kebenaran” tidak akan membuat kita menjadi makhluk yang berbahagia tapi jelas akan menjauhkan kita dari paket maut kebodohan dan fanatisme. Karena kebodohan dan fanatisme tidak hanya melingkar di lingkungan tertentu dalam suatu struktur masyarakat. Ia menyebar secara merata di dalam dada dan kepala semua golongan masyarakat dari kelas sosial apapun, dari suku apapun, dari agama apapun, bahkan dari jenis kelamin dan orientasi seks apapun.
Sekedar contoh. Apakah Anda percaya bahwa menyerukan kesetiaan pada Pancasila dalam cara tertentu tidak akan membuat Anda menjadi seorang teroris? Ketika Anda atas nama “kebenaran” tersebut mulai merasakan kebutuhan untuk menghabisi siapapun yang Anda anggap menyimpang dari kebenaran etatis itu? Sebagai orang yang datang dari masa lalu ketika Pancasila (dan UUD 45) terbukti bisa digunakan untuk melakukan pembungkaman, bahkan pembantaian, apakah salah jika saya bertanya apa bedanya kita kini dengan rezim Orba dalam menggunakan Pancasila?
Persoalanya, apakah kita sudah siap dengan kritisisme seperti itu, dengan keketatan berpikir seperti itu, dengan perenungan mendalam seperti itu? Ataukah kita masih menyimpan kerinduan akan “paket-paket kebenaran” yang akan memberi kita “prinsip” untuk digenggam? Apakah Anda bisa betah dalam sebentuk intelektualitas yang so pasti banyak tanya, banyak meragukan, banyak mempersoalkan, banyak merenung, banyak bergagasan, banyak berkonsepsi. Ataukah Anda masih berpikir bahwa Anda boleh memiliki “prinsip” dan “kebenaran” untuk digenggam tanpa tanya, tanpa banyak cakap, lalu merasa heran kenapa orang lain meledakkan dirinya demi menegakkan “prinsip” dan “kebenaran” mereka?
Saya hanya ingin bilang bahwa kita barangkali telah menyumbang sikap bagi terciptanya sebuah masyarakat anti-intelektual yang dalam tulisan ini saya anggap sebagai wujud konseptual dari apa yang kita sebut sebagai jalinan timbal-balik kebodohan dan fanatisme. Jika benar, saya tidak sedang menuduh Anda sebagai penyebab terorisme tapi saya jelas sedang menuduh Anda sebagai penyebab dari sebab terorisme.
Akhirnya, mengatakan bahwa kita tidak boleh menyerah pada terorisme adalah melaksanakan teror Nietzschean di dalam kepala kita sendiri. Menjadi diri-dinamit yang siap meledakkan kebodohan dan fanatisme dalam pencarian kebenaran yang tanpa akhir. Itu berarti melepaskan kebenaran-kebenaran akal bersama, mencoba menunda rasa bahagia yang ditawarkan keyakinan atas nama harga tertinggi kemanusiaan, rasionalitas.
Amato Assagaf Penulis adalah penyair, dramawan, pemikir dan penulis buku filsafat. Tinggal di Manado.