ZONAUTARA.com – Galaksi Bima Sakti adalah rumah bagi 100 hingga 400 miliar bintang. Masing-masing bintang berpotensi diorbit oleh planet-planet. Setidaknya, terdapat dua triliun galaksi seperti galaksi milik kita yang dapat diamati di alam semesta ini.
Masing-masing dari mereka dihuni oleh triliunan planet yang mengorbit ratusan miliar bintang. Dengan miliaran bintang di galaksi kita, peradaban cerdas di luar bumi seharusnya bisa ditemukan.
Menurut perbandingan Business Insider, jika hanya 0,1 persen planet di galaksi kita yang mungkin layak menampung kehidupan, itu berarti ada sekitar satu juta planet dengan kehidupan di dalamnya.
Angka-angka ini mendorong fisikawan peraih penghargaan Nobel, Enrico Fermi, untuk bertanya mengenai bentuk kehidupan alien.
“Di mana mereka?” “Mengapa tidak ada tanda-tanda kehidupan lain yang ‘berkunjung’ ke Bumi?”. Pertanyaan ini pun kemudian dikenal sebagai paradoks Fermi.
Menurut paradoks tersebut, terdapat tiga jenis peradaban di alam semesta: peradaban I (yang cenderung menghabiskan sumber daya planet), peradaban II (yang menuai energi dari bintang induk mereka), dan peradaban III (yang menuai energi dari seluruh galaksi mereka).
Paradoks ini kemudian terjawab melalui hipotesis “Great Filter”. Hipotesis tersebut mengatakan bahwa tidak mungkin jika tiga peradaban tersebut ada di alam semesta ini. Sekalipun ada, itu sangatlah sulit.
Pasalnya, sebelum suatu peradaban menjadi golongan peradaban yang lebih “cerdas”, mereka harus berhasil lolos melewati “Great Filter”. Sedangkan, hanya segelintir peradaban yang dapat melewati batas tersebut.
Selain itu, ada beberapa alasan logis yang dapat menjawab paradoks Fermi. Mungkin, peradaban yang telah maju pernah menyambangi Bumi, tetapi manusia zaman dahulu tidak mendokumentasikannya dalam catatan sejarah.
Bumi juga dianggap sebagai planet yang terpencil di galaksi Bima Sakti dan manusianya tergolong dalam peradaban I yang primitif. Sepertinya, peradaban yang lebih maju (peradaban II dan III) enggan untuk menyambanginya.
Ada momen transisi tertentu dari perspektif evolusioner bahwa planet mana pun seperti milik kita harus mampu selangkah lebih maju sebelum berkomunikasi dengan dunia lain. Dalam kasus ini, kita mungkin menjumpai “Great Filter” dalam evolusi kita.
Di sisi lain, perubahan iklim secara perlahan akan menghancurkan kehidupan di Bumi. Iklim yang sangat stabil dalam 12.000 tahun terakhir akan hancur oleh perkembangan peradaban manusia dan industrialisasi. Hal itu dapat menyebabkan “punah”-nya kehidupan di Bumi, menyusul peradaban yang telah punah.
David Wallace-Wells menulis di New York Magazine: “Di alam semesta yang berumur milyaran tahun, dengan sistem bintang yang terpisah oleh ruang dan waktu, peradaban dapat muncul dan berkembang, serta saling bertemu satu sama lain. Kepunahan massal yang sekarang kita jalani baru saja dimulai, dan akan lebih banyak lagi ke depannya.”
Ilmuwan lain memiliki jawaban yang lebih menyedihkan terhadap paradoks Fermi.
Ahli neurologi Oxford, Anders Sandberg; anggota Astronomical Observatory of Belgrade, Milan Cirkovic; dan pakar Artificial Intelligence (AI), Stuart Armstrong, mengatakan bahwa alien tidaklah punah. Mereka berada dalam keadaan hibernasi, menunggu alam semesta menjadi dingin.
Profesor Zaza Osmanov dari Free University of Tbilisi percaya bahwa pencarian kita akan tanda-tanda megastruktur alien belum dihargai. Hal itu disebabkan karena kita hanya berfokus pada bintang, dan bukan memperhatikan pulsar—bintang neutron yang berotasi dengan cepat dan memancarkan geombang radio yang kuat.
Fisikawan Brian Cox pun memberikan kemungkinan lain; sebuah kisah peringatan untuk peradaban kita sendiri dan juga yang lainnya. “Mau tidak mau, pertumbuhan sains dan teknik telah melampaui pengembangan keahlian politik, yang pada akhirnya menyebabkan bencana,” kata Cox.
Jika kehidupan yang cerdas tanpa sadar membuat dirinya punah setelah mengalami kemajuan, ahli fisika percaya, “kita bisa mendekati posisi itu.”
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di National Geographic Indonesia