MANADO, ZONAUTARA.com – Gejolak politik wilayah timur tengah dunia, antara negara Israel dan negara Palestina kini nyata dirasakan oleh Warga Negara Indonesia (WNI).
Sikap Indonesia sebagai pendukung Palestina telah dibuktikan dengan melarang warga Israel berkunjung ke Indonesia pada pertengahan tahun 2018. Langkah yang dilakukan tersebut sebagai bentuk protes atas tewasnya setidaknya 65 warga Palestina oleh tentara Israel, dalam aksi protes di Jalur Gaza, memeringati 70 tahun Nakba, 15 Mei lalu.
Sikap tersebut langsung dibalas oleh Israel dengan menerbitkan aturan yang melarang turis negara Indonesia masuk di wilayahnya per tanggal 9 Juni 2018. Larangan itu tertuang dalam surat keputusan bertanggal 29 Mei 2018 dan ditandatangani Kepala Departemen Kontrol Perbatasan Michel Yosfon.
Indonesia dan Israel memang tidak pernah ada hubungan diplomatik sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno. Tetapi pada praktiknya, RI dan Israel juga memiliki hubungan perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia aktif melakukan hubungan ekspor dan impor dengan Israel sejak tahun 2000. Nilai impor dari Israel ke Indonesia pada 2015 tercatat sebesar US$ 77,7 juta.
Israel sendiri pernah beberapa kali berusaha membangun hubungan diplomatik itu. Pada 1949, setahun setelah negara Israel berdiri, Tel Aviv melakukan komunikasi dengan Jakarta. Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion (masing-masing presiden dan kepala eksekutif Organisasi Zionis Dunia) mengirim telegram rahasia kepada Soekarno. Isinya: “Selamat atas kemerdekaan Indonesia”, namun surat itu tak berbalas.
Pada tahun Januari 1950, Menteri Luar Negeri Moshe Sharett mewakili Israel mengirim telegram kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta, berisi pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia. Hatta menanggapi dingin telegram itu. Hatta mengucapkan terima kasih tapi tanpa memberi pengakuan atas pendirian negara Israel. Meski demikian, upaya Israel menjalin komunikasi dengan Indonesia terus dilakukan.
Sebaliknya, pada 1952, Presiden Soekarno mengambil langkah kebijakan anti-Israel. Penyebabnya, Israel dianggap melakukan penjajahan terhadap Palestina. Bersikap menjalankan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (“.. kemerdekaan adalah hak segala bangsa…”), pada akhir 1953, pemerintah melarang pemberian visa bagi warga Indonesia buat berpergian ke Israel. Sikap ini tak lepas dari politik luar negeri Indonesia yang menghendaki kolonialisme sirna dari muka bumi.
Soekarno sendiri pernah berucap: “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”
Pasca-Soekarno meninggal dan kendali pemerintahan di bawah Presiden Soeharto berbagai pendekatan politik sedikit moderat dilakukannya. Dimulai dari perang enam hari yang dimenangkan Israel berhadapan dengan Mesir, Suriah dan Lebanon menjadi alasan Soeharto untuk melakukan penjajakan dengan Israel.
Sikap Soeharto melunak dalam menangani konflik Israel dengan Palestina. Agar tidak terlalu terlihat dukungan Indonesia terhadap perjuangan bangsa Palestina, pada 1972 Menteri Luar Negeri 7 Adam Malik melawat ke beberapa negara Timur Tengah. Misinya adalah meyakinkan para pemimpin Arab tentang sikap Indonesia tidak keberatan jika Lembaga Pembebasan Palestina (PLO) membuka kantor perwakilan di Ibukota Jakarta.
Soeharto dengan tegas memberi dukungan kepada pemimpin Arab untuk menghadang agresi Israel. Namun secara pasif, Indonesia juga mendukung Israel. Tahun 1979, awal kerja sama Indonesia dengan Israel menjadi nyata. Indonesia membeli 28 pesawat tempur Skyhawk dan sebelas helikopter dari Angkatan Udara Israel. Bahkan, Indonesia mencabut larangan pemberian visa bepergian ke Israel.
Pada 1993, Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres dan Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas bertemu secara informal di Konferensi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Wina, Austria. Israel menyatakan keinginan negaranya untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pada 16 Oktober 1993, Soeharto melakukan pertemuan diam-diam dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin di kediamannya, Cendana Jakarta Pusat. Pertemuan itu telah diatur 10 hari sebelumnya. PM Rabin datang ke Indonesia usai lawatan dari China, kemudian singgah di Singapura untuk memenuhi ibadah Sabat. Kedatangan Rabin memang mendapat desakan dari Israel, setelah Amerika mencoba menghentikan pasokan senjata buat Indonesia. Gagalnya amandemen Senator Feingold di DPR Amerika Serikat tentang penghentian penjualan senjata AS ke Indonesia adalah akibat lobi
Yahudi.
PM Rabin kembali bertemu Soeharto dalam acara 50 tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keduanya sepakat membina hubungan diplomatik lebih jauh, dimulai dari perdagangan.
Hubungan dengan Israel memang tak pernah putus. Era Presiden Abdurahman Wahid atau Gusdur, secara terang-terangan dia menyatakan membuka hubungan dengan Israel. Bahkan, saat Gus Dur berkuasa, surat larangan dagang dengan Israel dicabut melalui Surat Keputusan yang tertuang dalam surat bernomor 26/MPP/Kep/11/2000 tertanggal 1 Februari 2000.
Setelah Gus Dur lengser, hubungan dengan Israel memang seolah menjadi tertutup. Hubungan kembali mesra ketika Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa. Setidaknya, di era SBY, hubungan dagang Indonesia dan Israel mencapai puncak. Pada 2008, total ekspor Indonesia ke Israel mencapai 800 Juta dolar AS, sementara nilai ekspor Israel ke Indonesia 100 juta dolar AS.
Di era SBY pula, kabar lobi Israel sempat ramai di media massa. Asalnya, pertemuan Menteri Luar (Menlu) Negeri Hassan Wirajuda dengan Menlu Israel Silvan Shalom di New York. Ia terendus media dan lantas bikin ramai pemberitaan. Ada spekulasi, bahwa Israel telah mengirimkan proposal. Menlu Wirajuda segera membantah tudingan itu.
“Kami tidak bicara masalah hubungan diplomatik. Israel sangat tahu posisi Indonesia seperti apa,” katanya.
Presiden SBY ikut angkat bicara: “Tidak ada yang gelap, karena, sekali lagi, kita ingin membantu perjuangan bangsa dan rakyat Palestina.”
Pada tahun 2016, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyerukan pembentukan hubungan diplomatik antara Israel dan Indonesia.
Seruan Netanyahu tersebut dikemukakan di hadapan sekelompok wartawan asal Indonesia yang berkunjung ke Israel, pada Senin (28/3).
“Sudah saatnya mengubah hubungan kita karena alasan yang menghalanginya tak lagi relevan,” kata Netanyahu.
Menurutnya, hubungan antara Jerusalem dan Jakarta akan menjadi persekutuan yang didorong oleh kepentingan bersama, yaitu menangkal ancaman terorisme dan faktor ekonomi.
“Sudah saatnya dibentuk hubungan resmi antara Indonesia dan Israel. Kita punya banyak peluang untuk kerja sama bilateral, khususnya di bidang teknologi air dan teknologi canggih,” ujar Netanyahu.
Wapres JK Buka Peluang Diplomatik Dengan Israel
Konflik yang terjadi di wilayah timur tengah ternyata ditanggapi dingin oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Moh. Jusuf Kalla. Dalam sambutannya di Instanbul Turki, JK panggilan sapaanya, memposisikan diri Negara Indonesia bisa menjadi pendamai dari negara yang sementara berkonflik.
“Dalam mendamaikan konflik, konflik apapun itu, misalnya konflik keluarga, konflik negara, atau konflik apa, itu harus mengenal kedua belah pihak. Pengalaman saya di mana-mana terjun langsung, ke Aceh kita harus mengenal kedua belah pihak, atau harus berteman,” ujar JK, Sabtu (19/5/2018).
Menurut dia, menjalin hubungan pertemanan dengan kedua pihak yang tengah berkonflik bukan berarti memihak, namun untuk menyatukan pandangan.
Dalam tujuan membantu kemerdekaan Palestina, bisa saja Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. JK pun menyebut beberapa negara Islam yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
“Dulu saya pernah mengorganisir ini (penyelesaian masalah Palestina), antara saya, Erdogan, Pakistan, kita rapat di Riyadh. Bagaimana kita selesaikan dengan terlebih dahulu mendorong mereka damai berdua, antara Hamas dengan Fatah itu tugasnya Erdogan,” kata JK.
Dia mencontohkan upaya mendamaikan Hamas dan Fatah di Palestina pun berhasil dilakukan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Salah satu sebabnya karena Turki memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
“Karena dia ada hubungan diplomatik dengan Israel. Jangan lupa itu, itu ada 3 negara Arab yang punya hubungan diplomatik dengan Israel. Turki, Mesir dan Yordania, mereka punya hubungan diplomatik (dengan Israel). Jadi kalau Indonesia bicara dengan Israel atau ada hubungan pertemuan (dengan Israel), tidak ada apa-apanya dengan Yordania dengan Turki dan Mesir, dia ada kedutaan di Tel Aviv, saya pernah ke Tel Aviv, saya lihat ke depan hotel ternyata ada bendera Turki, kedutaan Turki,” tandasnya.
WNI Masih Bisa Masuk di Israel
Negara Israel ternyata masih bisa menerima orang Indonesia masuk di negaranya. Namun cara dilakukan dengan biasanya.
Para travel umroh yang punya paket ke Al Quds, atau travel yang punya paket Holy Land, mengurus visa di Yerusalem atau negara tetangga Israel lainnya dengan dibantu ground operator, alias rekanan travel agent lokal yang mengurus hotel dan transportasi.
“Jadi kalau ke Israel nggak cap di paspor, manifest doang. Kita kontak agent di Yerusalem urus land arrangement. Jadi dikasih selembar kertas A4 dengan nama orang (wisatawan). Dokumennya dipegang tour leader,” ungkap VP Business Development and Marketing Anta Vaya.
Terpisah, Head of Marcomm Golden Rama Ricky Hilton menjelaskan, Visa ke Israel hanya berupa kertas dengan manifest nama, bukan visa yang ditempel di paspor. Jadinya, ini semacam surat izin.
“Permohonan visa kita kirim ke local travel agent di Yerusalem, apply pakai manifest nanti dapatnya visa paper. Kertas begitu, jadi tidak ditempel di paspor kita,” kata Head of Marcomm Golden Rama, Ricky Hilton.
Sedangkan, Marketing Manager Trip Halal Murah by Alfa Tours Dahlia mengatakan, travel agentnya tidak mengurus di Yerusalem. Mereka punya rekanan di Mesir yang mengurusi izin masuk ke Israel. Israel melakukan pemeriksaan latar belakang calon wisatawan dengan super ketat.
“Pemeriksaannya ketat sekali, mereka bisa tahu orang Indonesia ini ikut kegiatan apa, organisasi apa. Pokoknya mereka tahu deh. Kalau ikutan organisasi atau kegiatan apa yang Israel tidak suka, bisa ditolak izin masuknya,” kata Dahlia.
Editor : Christo Senduk