Sudah 119 meninggal dunia. Mereka adalah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menyebutkan, selain itu ada 548 petugas KPPS lainnya yang mengalami sakit. Totalnya ada 667 orang yang kolaps saat proses rekapitulasi hasil Pemilu 2019. Mereka tersebar di 25 provinsi.
Metode rekapitulasi Pemilu 2019 yang sangat panjang dan melelahkan, ditenggarai menjadi penyebab 667 petugas KPPS ini bertumbangan.
Horor ternyata tak hanya menghantui masyarakat di saat Pemilu berada pada tahapan kampanye. Tetapi juga terus mengintai pasca hari-H pemungutan suara.
Jumlah petugas KPPS yan bertumbangan ini memberi signal, bahwa ide Pemilu serentak perlu dievaluasi kembali. Semangat menghemat anggaran yang mendasari pelaksanaan Pemilu serentak, nyatanya malah membengkak dari Pemilu 2014 .
Pemilu 2019 menguras uang negara sebesar Rp 25 triliun, dengan panen hiruk pikuk hujat-hujatan kubu yang berkompetisi. Belum lagi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh penyelenggara Pemilu.
Anggaran yang fantasitis itu tak menjamin penyelenggara Pemilu bekerja dengan profesional dan displin pada tahapan. Di beberapa wilayah, pemungutan suara harus tertunda sehari, karena logistik Pemilu tak terdistribusi tepat waktu.
Penyelenggara bukannya menyederhanakan metode pemilihan, malah semakin membinggungkan pemilih dengan kertas suara yang super besar. Alhasil banyak pemilih mengaku asal mencoblos karena binggung melihat isi kertas suara.
Rekapitulasi yang juga masih dilakukan dengan metode manual bertahap dari KPS hingga ke KPU, sungguh menyiksa para petugas. Energi dan pikiran terkuras. Belum lagi tekanan dari partai dan calon serta pihak-pihak yang ingin mencurangi Pemilu. Padahal honor mereka tak seberapa dibanding beban kerja.
Masyarakat yang sudah jenuh dengan saling serang di media sosial selama masa kampanye, berharap 17 April segera berlalu, dengan harapan seliweran saling menghujat berakhir.
Tapi, pasca pemungutan suara 17 April, masyarakat malah disuguhi horor ngototnya saling klaim kemenangan. Hasil quick count lembaga yang kredibel dan diakui KPU pun digugat. Masyarakat semakin binggung.
Parahnya, horor terus berlanjut, sebab hasil resmi rekapitulasi KPU nanti akan diumumkan pada 22 Mei. Selama itu, berbagai upaya untuk mengubah hasil rekapitulasi suara akan terus diupayakan oleh peserta Pemlu yang berpeluang meraih kursi.
Horor ini harus dihentikan. Bangsa ini sudah harus memikirkan jalannya demokrasi lewat Pemilu yang dilaksanakan dengan cara yan efektif dan tidak menguras banyak sumber daya.
Sudah waktunya Pemilu di Indonesia dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan digitalisasi, yang dapat menghemat anggaran dan waktu. Serta dapat memperpendek tahapan Pemilu.