Moment menyejukkan itu terjadi kemarin (Minggu, 2 Juni 2019). Di Taman Makam Pahlawan Kalibata. SBY menjabat tangan Mega. Atau bisa juga sebaliknya. Atau biar terasa sejuk, bilang saja keduanya berjabat tangan.
Publik merespon positif. Ini peristiwa penting. Penting, karena kita sudah jenuh dengan hiruk pikuk politik saat ini. Kedua tokoh itu berseberangan pandangan politik.
Sejak SBY keluar dari kabinet Mega, sejak itu hubungan keduanya dingin. Lama publik menanti keduanya bersalaman, jabat tangan.
Dan lagi-lagi TMP Kalibata jadi tempatnya. Saat upacara pemakaman almarhumah Kristiani Herawati atau Ani Yudhonoyono, istri Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pernah sebelumnya keduanya berjabat tangan juga di Kalibata, saat 9 Juni 2013 sewaktu pemakaman Taufiq Kiemas, suami Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri (Mega).
Senyum yang diekspresikan Mega sewaktu menyambut tangan SBY dengan mata sembab karena duka, adalah kesejukan. Publik berharap semoga setelah ini keduanya akur.
Harapan itu menyeruak ditengah gugatan hasil Pemilihan Presiden. SBY ada di kubu Prabowo, Mega di kubu Jokowi. Keduanya adalah tokoh bangsa. Sejatinya menunjukkan sikap bijak.
Peristiwa kemarin itu tak hanya soal jabat tangan. Tapi bisa menjadi simbol positif, rujuknnya para tokoh bangsa. Kesejukan suasana itu akan berimbas pada situasi damai.
Kedamaian diperlukan agar bangsa ini bisa melanjutkan cita-citanya: mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Ibu Ani telah berpulang. Jenazahnya telah dimakamkan. Dan di sana, dia akan tersenyum. Bukan saja hanya karena dia adalah pahlawan bagi suami, keluarga dan juga bangsa ini, tetapi mampu membawa pesan kesejukan dan kedamaian.
Kesejukan dan kedamaian itu pula yang harus hadir sebentar lagi. Puasa akan berakhir. Kemenangan akan diraih bagi mereka yang bersungguh-sungguh memperjuangkannya.
1 Syawal 1440 hijriah sudah tiba, saatnya merayakan kemenangan di Idul Fitri. Dan sebagaimana kita orang Indonesia, kemenangan itu kita rayakan dengan berjabat tangan, sambil memaaf-maafkan.