ZONAUTARA.com – Wajah penegak hukum kembali tercoreng. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tangkap tangan, lalu menetapkan Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto, satu orang pengacara, serta satu pihak swasta sebagai tersangka pada Kamis (28/6/2019).
Mereka diduga memberikan atau menerima hadiah atau janji terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tahun 2019. Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap kejadian ini membuat citra penegak hukum semakin merosot di mata publik.Â
Tertangkapnya oknum kejaksaan dalam dugaan tindak pidana korupsi bukan kali pertama terjadi. Setidaknya dalam kurun waktu 2004 – 2018, telah ada 7 Jaksa yang terlibat praktik rasuah dan terjaring oleh KPK. Hal ini menandakan bahwa proses pengawasan di internal Kejaksaan, tidak berjalan secara maksimal.
Ada respon menarik yang muncul atas operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK kali ini, yakni beberapa pihak yang berpandangan bahwa kasus ini mesti ditangani oleh internal Kejaksaan Agung. Jika merujuk kepada kewenangan dan dasar pembentukan KPK, pandangan ini tentu saja keliru dan harus dikritisi secara serius.
ICW setidaknya mengajukan tiga argumentasi. Pertama, KPK adalah lembaga yang paling tepat untuk menangani kasus korupsi penegak hukum. Berdasarkan pasal 11 huruf a UU KPK, menyebutkan kewenangan KPK dalam menangani perkara yang melibatkan aparat penegak hukum. Pada operasi yang KPK lakukan, beberapa oknum yang tertangkap memiliki latar belakang sebagai Jaksa, maka KPK secara yuridis mempunyai otoritas untuk menanganinya lebih lanjut.
Kedua, tidak ada lembaga atau pihak manapun yang boleh mengintervensi penegakan hukum yang dilakukan KPK. Undang-undang telah menyebutkan bahwa  KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Apabila dalam penanganan perkara ada pihak yang mencoba intervensi, dapat dianggap menghalang-halangi proses penegakan hukum (obstruction of justice) dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun.
Dan ketiga, penanganan perkara harus bebas dari konflik kepentingan. Jaksa Agung sebaiknya mengurungkan niatnya untuk menangani oknum jaksa yang tertangkap oleh KPK. Sebaiknya Jaksa Agung melakukan perbaikan di internal. Karena penangkapan oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta adalah bentuk penyelamatan integritas Kejaksaan di mata publik. Setidaknya, langkah KPK dapat dimaknai juga sebagai upaya bersih-bersih internal Kejaksaan dari pihak-pihak yang mencoreng martabat Kejaksaan.
Terkait dengan korupsi yang selama ini dilakukan oleh oknum Jaksa, ICW setidaknya mencatat tiga pola korupsi yang kerap dilakukan. Pertama, tersangka diiming-imingi pemberian Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2). Tahap ini menjadi awal dari potensi korupsi terjadi, karena bagaimanapun pihak Jaksa tersebut akan berupaya agar kasus tidak sampai dilimpahkan ke persidangan.
Kedua, pemilihan Pasal dalam surat dakwaan yang lebih menguntungkan terdakwa, atau hukumannya lebih ringan. Bagian ini dilakukan pada saat memasuki tahap persidangan. Seperti yang diketahui bahwa surat dakwaan adalah batasan bagi Hakim ketika ingin menjatuhkan putusan bagi terdakwa, maka itu jual-beli Pasal kerap terjadi pada proses persidangan.
Ketiga, pembacaan surat tuntutan yang hukumannya meringankan terdakwa. Poin ini menjadi hal yang paling sering terjadi, karena setidaknya pembacaan tuntutan akan turut mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Lagipun surat tuntutan dapat dikatakan sebagai kesimpulan penegak hukum atas proses pembuktian dalam persidangan perihal kejahatan yang dilakukan terdakwa.
Kejadian di atas sekaligus mengonfirmasi bahwa penegakan hukum belum berjalan secara maksimal. Praktik-praktik korupsi masih terus menerus melanda penegak hukum. Atas kejadian ini maka ICW menuntut beberapa hal.
Pertama, Jaksa Agung harus bertanggungjawab atas kejadian korupsi di tubuh Kejaksaan. Karena peristiwa ini sudah berulang, maka Jaksa Agung sebaiknya mengundurkan diri karena telah gagal memastikan Kejaksaan bebas dari korupsi;
Kedua, KPK agar tidak ragu untuk mengusut tuntas perkara ini. Karena tidak ada argumentasi manapun yang membenarkan logika berpikir pihak-pihak yang berupaya menarik penanganan perkara ini ke internal Kejaksaan;
Ketiga, KPK menggunakan instrumen hukum Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika ada pihak-pihak yang berupaya untuk menghalang-halangi proses hukum;
Keempat, DPR sebagai lembaga legislatif maupun anggota Partai Politik, sebaiknya mengawal proses perbaikan di internal penegak hukum dari pada memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan dalam proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. (**)
Editor: Ronny Adolof Buol