MANADO, ZONAUTARA.com – Penanganan terhadap kekerasan perempuan dinilai lamban. Sementara fakta kualitas dan kuantitas tindakan kekerasan terhadap perempuan terus berkembang dengan cepat.
Dalam catatan Swara Parangpuan, selama kurun waktu tiga tahun terakhir, ada sebanyak 179 kasus kekerasan terhadap perempuan yang telah didampingi.
“Kendati terlihat adanya tren penurunan dari segi kuantitas, tetapi bukan berarti realitas sebenarnya kekerasan terhadap perempuan menurun,” ujar Koordinator Program Swara Parangpuan Sulut, Mun Djenaan, Selasa (10/12/2019) saat melaunching Catatan Tahunan Situasi Kekerasan Terhadap Perempuan di Sulut 2019.
Menurut Mun, saat ini informasi terkait adanya lembaga layanan yang disediakan oleh pemerintah untuk menangani tindak kekerasan terhadap perempuan telah terdistribusi.
“Masyarakat sudah mulai tercerahkan oleh informasi-informasi terkait isu kekerasan terhadap perempuan dan sudah ada layanan yang ada di desa-desa yang didampingi oleh Swara Parangpuan,” kata Mun.
Meski demikian catatan tahunan Swara Parangpuan menyorot soal tantangan yang dihadapi korban kekerasan terhadap perempuan. Tantangan terbesar adalah sulitnya mendapatkan layanan hukum, padahal 65 persen dari kasus yang ditangani, korban ingin mendapatkan layanan hukum.
“Tantangan dalam layanan hukum itu antara lain sulitnya menghadirkan pembuktian kasus pelecehan seksual, pengakuan korban sering tidak menjadi alat bukti hukum serta korban sering mendapat reviktimisasi dari aparat dan masyarakat,” urai Mun.
Mun juga menjelaskan bahwa acap kali korban dibebankan untuk mencari alat bukti, pencarian pelaku yang lari dibebankan kepada keluarga pelaku dan korban, serta lamanya proses hukum KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang belum menjadi prioritas aparat.
Isu perempuan menurut Mun, masih dilihat sebagai isu sektoral dan juga parsial dalam penegakan hukum dan perencanaan pembangunan. Di struktur kepolisian misalnya, penanganan KDRT masih disatukan dengan unit penanganan perempuan dan anak.
Sementara selama ini pemerintah dalam menangani trafficking masih melakukan pendekatan hukum semata. Padahal motivasi korban trafficking paling banyak karena masalah ekonomi.
“Semestinya ada pendekatan pemberdayaan ekonomi dalam penanganan trafficking,” kritik Mun.
Melihat situasi kekerasan terhadap perempuan yang masih terus berlangsung itu, Swara Parangpuan mendesak pemerintah menjadikan isu perempuan dan anak sebagai salah satu program prioritas dalam penyusunan pembangunan daerah.
“Jika perlu harus ada kebijakan daerah yang memberikan jaminan anggaran perlindungan terhadap korban, serta menyediakan layanan yang dibutuhkan korban secara menyeluruh dan berkelanjutan hingga pemberdayaan,” kata Mun.
Editor: Ronny A. Buol