Ini adalah bagian kesembilan dari 11 tulisan catatan perjalanan yang dilakukan Ronny A. Buol ke pedalaman Kalimantan pada 2016 lalu. Bagian sebelumnya dapat dibaca di: Tato Perempuan Dayak: Simbol yang harus dibawa mati
Erviea Song (26), guru TK ini mengungkapkan kegelisahannya. Dia ingin mengikuti jejak leluhurnya memanjangkan kuping. “Tapi kuping telinga saya tipis,” ujarnya gundah.
Erviea berasal dari Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai sebuah kampung di tepi sungai Mahakam di bagian hulu. Dia bergaul luas di Samarinda, dengan segala kehidupan modernnya. Beberapa bagian tubuhnya juga ditato.
“Saya suka sekali tato, apalagi itu motif dayak yang unik dan etnik, hanya saja pekerjaan saya menghambat untuk membuat tato di tangan dan kaki,” ujar Erviea.
Sementara itu, jauh di Long Apari, kecamatan yang berbatasan dengan Malaysia, wajah Tukau Daung (70an) menyiratkan keengganan saat diminta mengenakan hisang. Cuping kupingnya masih panjang, walau tak sepanjang perempuan Dayak kuping panjang lainnya.
Tersirat sebuah traumatik bagi Tukau untuk mengenakan kembali hisangnya. Sebagai penggantinya, Tukau mengenakan tiruan kuping panjang yang dicantelkan di ikat kepalanya. Hisangnya digantung di kuping panjang tiruan itu.
Tukau tidak ingin menceritakan apa yang membuat dia tidak lagi menginginkan mengenakan hisang. Di Long Apari sendiri dulunya banyak yang berkuping panjang dan berhisang. Namun kini terdata tinggal lima orang.
Ketua Adat di Tiong Ohang, Long Apari, Sengiru Lasing menjelaskan bahwa penetrasi beberapa program pemerintah hingga ke pedalaman menjadi salah satu sebab tradisi kuping panjang menghilang.
Lasing menceritakan saat dokter datang ke kampung bersamaan dengan tentara sewaktu Indonesia terlibat konfrotasi dengan Malaysia, para perempuan kuping panjang mulai memotong telinga mereka agar kembali normal.
Dibukanya sekolah juga menjadi sebab lain, anak-anak tidak lagi ingin meneruskan tradisi leluhur mereka itu. Stigma kuno pun melekat pada perempuan kuping panjang. “Malu diejek teman-teman mereka,” kata Lasing.
Long Imuq (74) salah satu perempuan berkuping panjang di Datah Suling, Long Isun Kecamatan Long Pahangai kini telah mengganti hisangnya dengan anting mungil. Cuping telinganya telah terlihat normal layaknya perempuan lainnya, padahal dulu cuping itu memanjang.
Tokoh masyarakat Long Isun, Kuleh Lia menjelaskan bahwa dulu sebenarnya banyak anak-anak perempuan dilubangi cupingnya agar panjang. Tetapi karena harus bersekolah dan bekerja, cuping telinga yang sudah memanjang itu terpaksa harus dipotong.
Bagi Erviea sebenarnya dia tidak peduli stigma kuno yang melekat pada perempuan berkuping panjang. Baginya meneruskan tradisi leluhurnya itu adalah hal yang penting, di tengah generasi sekarang yang tidak ingin memanjangkan kupingnya. Sayang orang tuanya menentang keinginan Erviea.
Di seantero Kalimantan, diperkirakan perempuan berkuping panjang tidak lebih dari 100 orang. Padahal dulu di Dayak bagian hulu, kuping panjang adalah simbol keagungan, tanda kebangsawan dan cermin kencantikan.
Modernitas yang merasuk hingga ke kampung-kampung di pedalaman Dayak, telah mengerus tradisi ini. Dari 43 perempuan kuping panjang yang berhasil didokumentasikan Ati Bachtiar, fotografer dan penulis buku Telinga Panjang, rata-rata usia mereka di atas 60 tahun. Bahkan beberapa diantaranya telah berusia 80 hingga 90 tahun.
Zaman memang telah berubah. Peradaban dengan cepat berganti rupa. Akankah kita membiarkan tradisi leluhur yang agung ini menemui takdirnya tergerus zaman?
Bersambung …..
Bagian 1: Bertaruh Nyawa Menuju Kampung
Bagian 2: Bergantung Pada Ces
Bagian 3: Kegundahan Dari Ladang Meraseh
Bagian 4: Dari Gaharu, Sawit Hingga Hutan
Bagian 5: Mereka Bersekolah Di Long Isun, Kampung Di Tepi Sungai
Bagian 6: Perempuan Kuping Panjang: Keagungan Di Ujung Takdir Pupus
Bagian 7: Tato Perempuan Dayak: Simbol yang harus dibawa mati
Bagian 8: Perempuan Kuping Panjang: Berjuang kala uzur demi merawat tradisi