BITUNG, ZONAUTARA.com – Masa pandemi Covid-19 memberikan tantangan tersendiri bagi guru-guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Trikora Indah Bitung. Pasalnya, pembelajaran melalui metode dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring) di sekolah terletak di Pulau Lembe tersebut sangat berbeda dari sekolah pada umumnya.
Guru di SLB Trikora Indah Bitung terpaksa harus bekerja ektra-keras agar proses pembelajaran para siswa berkebutuhan khusus ini bisa terlayani dengan baik.
“Ya, di sekolah kami ada anak yang berkebutuhan khusus, yakni tunarungu 14 orang, tunagrahita 23 orang, tunadaksa 3 orang dan autis ada 3 orang,” kata Kepala SLB Trikora Indah Bitung, Siti Aisa Tanang, Kamis (01/09/2020).
Berdasarkan jenjang pendidikan, imbuhnya, untuk SD ada 23 orang siswa, SMP 15 orang siswa, dan jenjang SMA 5 orang siswa. Para siswa tersebut dilayani 6 orang guru bersama 1 orang sebagai operator sekolah dan ia sendiri sebagai Kepsek.
“Paling banyak siswa di sekolahnya belajar luring. Hanya sebagian kecil yang daring. Ini karena selain tidak terjangkau jaringan internet, juga mereka tidak memiliki handphone karena orang tua mereka kurang mampu,” jelas Siti.
Memang, kata Siti, para siswanya ada yang tinggal di Kecamatan Lembe Utara dan Lembe Selatan, yang hampir semua wilayah kelurahannya tidak terjangkau jaringan internet. Kalau mau mengakses internet, harus menempuh 40 sampai 60 kilometer atau 1- 2 jam perjalanan dengan melewati gunung dan jalan berlubang.
“Di sini para guru ada yang tinggal di daratan Kota Bitung dan ada juga tinggal di Pulau Lembe. Guru yang tinggal di Daratan Kota Bitung harus melewati laut menuju sekolah dengan naik perahu penumpang dari ruko Kota Bitung. Biasanya jarak tempuh dengan perahu sekitar 20 menit dan ongkos 5 ribu rupiah per orang,” ujarnya.
Jadwal daring dan luring, menurut Siti, sudah diatur. Senin sampai Kamis untuk luring. Para guru membawa tugas ke rumah siswa dengan memperhatikan protokol kesehatan baik pakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Pada hari Jumat baru semuanya berkumpul di sekolah sambil kerja bakti untuk bersih-bersih sekolah.
“Untuk proses pembelajaran daring, guru dan siswa kami bantu berikan paket kuota internet. Khusus untuk luring, para guru kami fasilitasi dengan menyediakan kendaraan roda dua atau motor sampai mengisi bahan bakarnya,” kata Siti.
Memang diakuinya, selama ini di Pulau Lembe banyak anak-anak yang berkebutuhan khusus tidak menikmati pendidikan atau putus sekolah dan dengan adanya SLB mereka sangat senang bisa dilayani dan bisa belajar.
“SLB ini berdiri sejak 2017 lalu dan sampai sekarang terus eksis memberikan pelayanan pendidikan bagi anak kebutuhan khusus, walaupun fasilitas masih banyak yang kurang, yakni ruang kelas untuk SMP dan SMA, ruang keterampilan, WC, fasilitas komputer, serta lainnya,” ujar Siti.
Siti bersama suaminya terpanggil membangun SLB di Pulau Lembe karena ingin membantu anak-anak berkebutuhan khusus yang sangat perlu mendapatkan pendidikan layak.
“Itu adalah motivasi kami membangun SLB di Pulau ini. Juga, dulunya kakak saya juga adalah seorang penyandang tunagrahita, maka saya terpanggil ingin membantu kakak dengan kuliah di Unima (Universitas Negeri Manado, red), Jurusan Pendidikan khusus Anak Berkesulitan Belajar dan Tunarunggu,” jelasnya.
Siti pun berharap ada orang lain juga mempunyai motivasi sama, yang ingin membantu sesama dengan ikhlas dan tanpa mengharapkan imbalan.
Reslita Soda, salah satu guru di SLB Trikora Indah Bitung, mengungkapkan keprihatinannya karena di zaman informasi teknologi makin canggih sekarang, tidak semua siswanya yang bisa mengakses jaringan internet. Faktanya di Pulau Lembe ada beberapa kelurahan yang ntidak memiliki jaringan internet.
Memang di Kelurahan Nusu dan Motto, Kecamatan Lembe Utara, dan Kecamatan Lembe Selatan yang tidak memiliki jaringan internet. Beberapa Kelurahan yang letaknya jauh dari Kota Bitung ini, berada di balik Pulau Lembe dengan jarak tempuh 40-50 kilometer dan melewati jalan yang bergunung dan menurun tajam serta berlubang.
“Murid di kelas banyak yang tidak memiliki handphone dan juga tempat tinggalnya tak bersignal. Kalau di kota lain mungkin semua memiliki jaringan internet. Tapi di daerah kami masih ada yang tidak terjangkau jaringan internet,” ucapnya.
Meski begitu, halangan tersebut bukan berarti membuat kegiatan belajar mengajar berhenti. Risita pun berupaya agar siswanya tetap di rumah saja. Sebagai guru, ia membuat rangkuman tugas selama satu minggu. Setelah itu, Reslita harus mengantarkan tugas tersebut ke rumah wali murid yang tidak memiliki jaringan internet dengan memperhatikan protokol kesehatan baik pakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
“Saya bawakan tugasnya untuk dikerjakan selama 1 minggu. Nanti kalau sudah selesai, saya ambil lagi ke rumah mereka. Barusan saya mengambil tugas dari dua siswa di Kelurahan Nusa di rumahnya Aluis Vico Takasilumang siswa SD kelas 1 yang berumur 15 tahun dan juga Novendri Kiam Paudi SD Kelas 1 yang berumur 12 tahun,” terangnya.
Dijelaskannya, kedua anak ini adalah penyandang tunagrahita. Mereka anak-anak ini yang memiliki keterbelakangan mental atau disebut juga dengan retardasi mental. Tunagrahita memiliki IQ yang di bawah rata-rata sehingga tingkat intelegensi mereka pun lebih rendah dari anak-anak lainnya.
Memang, selama pandemi berlangsung diselimuti rasa waswas karena virus korona, namun tidak ada pilihan lain bagi Reslita. Satu minggu sekali, dia bolak-balik dari rumahnya ke setiap kediaman anak didiknya. Biasanya, ia mengendarai sepeda motor sendirian.
“Sebenarnya agak cemas juga karena ada virus. Tapi ini harus saya lakukan demi anak-anak. Apalagi, tidak semua alamat sang murid dekat dari rumahnya. Yang paling jauh beralamat di Kelurahan Motto, Kecamatan Lembe Utara. Jaraknya dari Sekolah sekitar 40-50 km,” kata Reslita.
Selain jarak, Reslita juga menghadapi hambatan akses jalan. Jalan di Pulau Lembe banyak tanjakan tajam karena bergunung tinggi dan jalan menurun yang curam dan berbelok serta berlubang. Reslita selalu berhati-hati melewati jalan ini setiap minggu.
Namun, menurutnya, tetap saja ada sisi positif dari aktivitas tersebut. Dengan bertemu langsung dan berinteraksi langsung siswanya, Reslita mengaku dapat mengetahui kondisi dan perkembangan mereka.
“Saat melakukan kunjungan itu, saya bisa tanya-tanya ke orang tuanya terkait perkembangan anak. Misalnya pertanyaan yang umum adalah apakah bapak-Ibu ada kendala dan anaknya mogok belajar tidak. Dari wawancara tersebut, dapat memantau kendala yang dihadapi muridnya. Apakah mengalami kesulitan dengan tugas yang diberikan atau tidak?” ujarnya.
Perlakuan itu, lanjutnya, berbeda dengan wali murid yang memiliki jaringan internet dan mempunyai handphone, yang akan memberikan tugas setiap harinya. Dengan catatan, murid mengirimkan semua kegiatan di rumah dalam bentuk dokumentasi foto dan video.
“Setiap hari saya memberi tugas ke mereka yang punya WhatsApp. Saya juga tanya ke orang tua siswa apakah ada kendala. Kalau ada, saya minta untuk dikonsultasikan ke saya,” kata Reslita.
Penulis: Zulkifli Madinah