ZONAUTARA.com – Yaki atau Monyet hitam Sulawesi (Macaca) adalah satwa endemik Sulawesi yang keberadaannya di habitat asli semakin terancam. Selain diburu untuk dikonsumi dagingnya di sebagian wilayah Sulut, yaki juga dianggap sebagai hama oleh petani.
Tak jarang petani memburu yaki yang masuk di lahan perkebunan untuk mencari makan. Beberapa petani menjerat yaki, ada pula yang membunuhnya dan beberapa diantaranya menangkap lalu mengurung satwa eksotis ini.
Serbuan yaki ke lahan perkebunan warga terjadi karena sumber makanan di area hutan tempat mereka hidup berkurang. Kekurangan pasokan makanan itu dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya terkonversinya hutan menjadi lahan perkebunan.
Petani kopi yang berada di Mobalang, Poyowa di wilayah Kota Kotamobagu juga sering kedatangan rombongan yaki. Satwa liar yang memang punya sifat berkelompok ini sering mengambil buah kopi yang sudah matang. Tentu ini menjadi ancaman bagi petani kopi.
Namun tidak seperti yang terjadi di wilayah lain, petani kopi di Mobalang punya cara yang patut ditiru mengatasi hama yaki. Mereka tidak mengusir atau menangkap apalagi membunuh rombongan yaki yang datang.
Salah satu petani, Rio Lombone saat ditemui di perkebunannya becerita bagaimana strategi mereka mengatasi yaki.
“Awalnya kami mencoba mengusirnya. Tapi mereka tetap akan datang dan masuk ke kebun dan mengambil buah kopi. Akhirnya kami sadar bahwa sebenarnya kami ini sudah masuk di rumahnya (ekosistem) yaki,” jelas Rio awal November kepada Tim Zonautara.com.
Langkah yang ditempuh Rio dan para petani di Mobalang adalah dengan mencoba berdamai dengan yaki.
“Kami sediakan apa yang mereka butuhkan. Makanan,” kata Rio.
Para petani berpendapat bahwa saat datang ke kebun kopi, yaki lapar dan hanya akan mengambil buah kopi. Yaki tidak akan mengambil buah kopi untuk dibawa pulang dan ditumpuk.
“Yaki tidak seserakah manusia. Jadi kami coba berdamai dengan mereka,” ujar Rio.
Dengan kesadaran itu, para petani di Mobalang kemudian menanam pohon kopi tambahan, dan tanaman lainnya yang buahnya bisa dimakan yaki di batas perkebunan.
Tanaman tambahan itu memang dikhususkan untuk dimakan yaki. Dengan strategi itu, saat ini yaki sudah tidak pernah lagi datang hingga ke bagian tengah perkebunan.
“Karena kelompok yaki yang sering datang itu sudah terpenuhi kebutuhan makanannya,” jelas Rio.
Hingga saat ini belum pernah ada kejadiaan petani di sekitar Poyowa menangkap atau menembak Yaki.
Mengurangi konflik satwa dengan manusia
Pendekatan yang dilakukan oleh petani kopi di Poyawa Kotamobagu ini disambut baik oleh peneliti dan pengajar di Universitas Sam Ratulangi Manado, Dr. John Tasirin.
Tasirin yang juga merupakan peneliti di Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Pusat Studi Bioteknologi dan Konservasi Kawasan Wallacea ini berpendapat bahwa menanam tanaman pakan Yaki adalah salah satu metode pendekatan yang jitu untuk mengurangi konflik satwa dengan manusia.
“Meski kopi bukan pakan utama yaki, tapi membuat mintakad penyangga (buffer zone) adalah pendekatan yang tepat,” jelas Tasirin yang dihungi Zonautara.com, Senin (15/11/2021).
Menurut Tasirin, mungkin yaki datang ke kebun kopi tidak untuk mencari makanan utama. Bisa saja itu karena kelompok yaki yang datang sekadar bermain sambil memetik buah kopi.
“Untuk bisa berkelanjutan mungkin lebih tepat jika yang ditanam di batas kebun adalah tanaman yang memang pakan yaki, dengan pendekatan pengayaan populasi tumbuhan pakan di dalam kawasan hutan,” saran Tasirin.
Tasirin menyarankan agar petani bisa mempelajari apa saja yang menjadi pakan utama yaki di hutan lokal, lalu perbanyak dengan biji maupun stek, kemudian disebar di tempat-tempat dalam home-range populasi yaki yang menjadi target.
Sementara itu, Yunita Siwi dari Yayasan Selamatkan Yaki menyambut baik upaya yang sudah dilakukan Rio Lombone dan para petani di Mobalang.
“Ini kan local wisdom yang perlu didukung. Selain melindungi tanaman kopi, tindakan ini juga sudah bagian dari upaya pelestarian satwa yaki. Mereka sadar untuk tidak lagi memburu yaki,” kata Yunita.
Yayasan Selamatkan Yaki sendiri adalah sebuah lembaga non profit yang terus bergerak mengedukasi masyarakat Sulut agar melestarikan satwa endemik yang terancam punah ini.
Terancam punah
Yaki merupakan satwa liar yang dilindungi di Indonesia berdasarkan UU RI No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Permen LHK RI No. 106 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang dilindungi.
Populasi Yaki, yang merupakan satu dari delapan jenis Macaca endemik Sulawesi ini diperkirakan kurang dari 100.000 ekor sejak tahun 1998.
Dari beberapa penelitian, Yaki dapat dijumpai di wilayah Sulawesi Utara, antara lain di Cagar Alam Dua Saudara, Pulau Bacan, Menembo Nembo, wilayah Bolaang Mongondow dan di Modayag.
Saat ini jumlah Monyet hitam sulawesi semakin berkurang bahkan menghadapi kepunahan. Aktivitas perburuan liar menjadi faktor terbesar berkurangnya populasi Macaca di alam.
Daftar merah IUCN telah lama memasukkan Monyet hitam sulawesi dalam daftar status konservasi Critically Endangered (kritis). CITES juga memasukkan satwa endemik ini dalam Apendix II, yang artinya spesies ini tidak segera terancam punah tetapi akan terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.
Secara morfologi, yaki mempunyai tinggi sekitar 44-60 cm dengan berat badan 7-15 kg. Tubuh dan wajah Yaki berwarna hitam kecuali bokongnya yang berwarna merah muda, sehingga orang lokal menyebutnya “yaki panta merah”.
Satwa yang hidup berkelompok ini mempunyai bulu lebat di punggungnya dan mempunyai tekstur yang halus. Yaki juga memiliki jambul di depan kepalanya.
Biasanya monyet jenis jantan akan berkelahi untuk memperebutkan wilayah, pakan dan betina. Satwa ini aktif di pagi sampai sore hari atau diurnal.
Di alam, kawanan monyet ini dapat dijumpai pada hutan primer dan sekunder. Wilayah jelajahnya berkisar antara 114 hingga 320 hektare dengan jangkauan jelajah harian mencapai 6 kilometer.
Yaki termasuk pemakan buah-buahan atau menjadikan buah sebagai makanan utamanya. Mereka akan memakan buah sebanyak 60-90% dari total konsumsi pakannya. Selain buah, monyet ini kadang-kadang memangsa serangga kecil. Beberapa jenis serangga yang dimakan antara lain tawon, rayap, ulat dalam gulungan daun, lebah, semut, dan belalang.
Meski telah jauh berkurang, perdagangan yaki masih sesekali dijumpai di beberapa pasar tradisional di Minahasa dan Tomohon.