Bagian pertama dari catatan perjalan ke Kalimantan ini dapat dibaca di sini.
ZONAUTARA.com– Dua hari bermalam di Kota Gorontalo cukup untuk mengembalikan tenaga. Saya sendiri benar-benar siap memulai perjalanan selanjutnya. Sebagaimana rencana, pagi ini 22 Desember, dari hotel New Melati kami akan bertolak ke Sulawesi Tengah.
Barang sudah terikat kembali di motor. Kali ini Novi yang memimpin doa. Dengan berharap perlindungan pemilik semesta, kami perlahan berpindah. Jalanan Gorontalo terhitung aman, walau beberapa kali kami harus “memotong” lorong-lorong (terutama saat di Limboto), agar mendapatkan jalur yang lebih cepat. Beberapa kabupaten di provinsi ini harus dilintasi, kami benar-benar berhitung agar bisa tiba di pemberhentian selanjutnya tepat waktu.
Saat berada di Isimu, kami menambah bahan bakar. Selain itu, kami melakukan ritual buang air. Toiletnya bau pesing, tapi kami bertahan, setidaknya kami bisa mengeluarkan ampas-ampas dan racun usai proses metabolisme.
Motor kami pacu. Saat kami saling bersebelahan, saya mulai mengganggu Novi. Ini kali pertama Novi melakukan perjalanan panjang menggunakan sepeda motor. Sebenarnya, mungkin ini berlebihan, tapi saya bertujuan untuk tetap berusaha membuat Novi tertawa. Memberi cerita pada perjalanan ini.
Matahari di langit Gorontalo terasa terik, fokus mulai hilang. Panas bercampur angin benar-benar mengundang kantuk. Kami berhenti tepat di halte depan SMAN 2 Tilamuta. Tepat di papan sekolah, “tagging” zonautara.com terlihat. Stiker ini ditempel sekitar tahun 2019 saat saya, kak Ronny, dan Bios keliling mencari jalur perdagangan kelelawar. Kini, bersanding dengan zonautara.com dan nama sekolah, Novi menempel stiker torang bapontar.
Kami melakukan sedikit perenggangan dengan menggerak-gerakkan badan. Saya sendiri langsung berbaring di halte. Setelah merasa sudah cukup, kami melanjutkan perjalanan. Saat di Tilamuta, saya lupa di desa apa, ada jembatan sedang dibangun. Berbeda dengan di jembatan Pakuku Bolsel yang ada jembatan alternatifnya, di sini pilihan yang ditawarkan tetap harus melintasi sungai dengan tinggi air kurang lebih 45 cm. Pergelangan tangan kak Ronny belum cukup kuat menahan setir, akhirnya Bios mengambil alih. Setelah menyeberangkan motor yang dikemudikannya, dia kembali menyeberangkan motor kami. Saya dan kak Ronny satu persatu dijemput.
Setelah berjam-jam di atas motor, kami tiba di Pohuwato. Di Kedai 008 kami bertemu dengan seorang kawan, Arfan Dalanggo. Bagi saya Arfan tidak terlalu asing. Saya sudah beberapa kali ketemu secara virtual. Kami sering menjadi narasumber di program Literasi Digital dari Kemenkominfo. Tak hanya Arfan, karena kedai yang kami singgahi ternyata jadi tempat para wartawan Pohuwato berkumpul, kami juga dikenalkan dengan beberapa wartawan.
Kami tidak bisa berlama-lama. Usai makan siang, kami pamit melanjutkan perjalanan. Agar tidak tertidur saya mulai menyanyi. Sepanjang jalan saya melihat alam yang indah bersanding sampah. Sambil menyanyi sambil berkhayal. Sesekali helm saya membentur di helm yang dipakai kak Ronny. Saya berusaha membuka mata, mulut sudah lelah, dan pinggang mulai tidak nyaman. Dalam hati saya terus berkata, sebentar lagi-sebentar lagi. Dan ya, hati saya begitu gembira saat dari jauh terlihat gapura dengan tulisan Selamat Datang di Sulawesi Tengah.
Untuk kali pertama sejak perjalanan ini dimulai, kami menggila. Terutama saya dan Novi. Kami mulai menggerakkan badan, menari, sesekali menyanyi dan tentu mendokumentasikan semuanya. Di perbatasan ini, kami berhenti cukup lama, memperhatikan kendaran masuk keluar dari provinsi Gorontalo ke provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Pun sebaliknya.
Setelah puas, kami yang tadinya berencana menyeduh kopi di perbatasan, akhirnya bersepakat untuk terus melanjutkan perjalanan. Kak Ronny meminta saya mempersiapkan dokumen perjalanan yang kami urus dari kepolisian. Barangkali akan diperiksa di pos jaga. Sayang, saya lupa dokumen itu ada di dalam tas yang sudah terikat kuat di belakang motor. Dengan sedikit kesal Kak Ronny meminta kami semua mempersiapkan kartu identitas. Ternyata setelah kami mulai melewati pos jaga, kami dibiarkan lewat begitu saja. Entah karena sudah sore, atau memang tidak ada pemeriksaan sama sekali, terutama jelang Natal seperti ini. Tapi sudahlah, saya bersyukur bisa melintas dan sekarang mulai menjejali jalanan Kabupaten Parigi Moutong.
Suasana desa di Moutong memberi kesan tersendiri bagi saya, terutama ketika rona jingga di langit melengkapinya. Sungguh, rasa syukur berlimpah terus menggema di dada. Meski tubuh sangat lelah, tapi pengalaman dan semua yang tersaji di depan mata sungguh sepadan.
Matahari mulai masuk ke peraduan, gelap menemani sepanjang lintasan. Suara kendaraan membongkar senyap bercampur bau garam lautan. Setelah jalanan berkelok-kelok lengkap dengan pohon kelapa yang terlihat samar, kami akhirnya menghentikan perjalanan di penginapan Ojo Lali Tompeng. Kami menyewa kamar dengan tarif Rp100 ribu, fasilitasnya cukuplah buat merebahkan tubuh. Lagipula kami tidak akan lebih dari 9 jam. Besok subuh kami harus melanjutkan perjalanan.
Sebenarnya, saya sendiri lebih nyaman tidur di emperan jalan dari pada di sini. Hawa kamarnya terasa lama. Bau apek, seperti sudah lama tidak ditempati. Airnya payau kekuningan. Tapi karena tubuh menuntut segera istirahat. Saya tidak melakukan protes apa-apa. Penjaganya juga cukup ramah.
Saya memesan makan malam sekaligus mie rebus bersama 3 cangkir kopi dan 1 teh. Kecuali saya, mereka bertiga memang penikmat kopi. Seolah semesta merestui, kami bersorak, tepat mie rebus kami diantar, rintik hujan tipis perlahan jatuh. Kami menikmati malam dengan penuh syukur.
Baca bagian 3 di sini.