Tim penyelamat di Turki dan Suriah bekerja keras menggali dengan tangan kosong puing-puing bangunan yang berserakan, tak peduli dengan cuaca dingin yang menyelimuti pada pada Senin (6/2) malam itu. Mereka berusaha menemukan korban-korban gempa yang selamat yang terperangkap di antara ribuan bangunan yang roboh akibat rangkaian gempa dahsyat yang mengguncang kedua wilayah tersebut.
Korban tewas yang dikonfirmasi di kedua negara telah melonjak di atas 4.300 jiwa setelah serangkaian gempa, di mana yang terbesar mencapai 7,8 magnitudo, menggoyang wilayah dekat perbatasan Turki-Suriah.
Tim tanggap bencana Turki dan Suriah melaporkan lebih dari 5.600 bangunan di beberapa kota telah rata dengan tanah, termasuk sejumlah blok apartemen bertingkat yang dipenuhi penghuni yang sedang tidur ketika gempa pertama terjadi.
Di Kota Kahramanmaras di tenggara Turki, para saksi mata kesulitan untuk menggambarkan seberapa besar bencana yang telah melanda kota mereka.
“Kami mengira itu adalah kiamat,” kata Melisa Salman, seorang reporter berusia 23 tahun. “Itu adalah pertama kalinya kami mengalami hal seperti itu.”
Badan bantuan Turki AFAD pada Selasa (6/2) mengatakan terdapat 2.921 kematian di negara itu saja, sehingga jumlah yang dikonfirmasi menjadi 4.365.
Advertisment:
Trauma
Serangkaian gempa yang terus menggoyang, membuat banyak warga Turki berusaha menyelamatkan diri. Barisan mobil tampak merayap ke utara meninggalkan Kota Sanliurfa yang hancur. Mobil-mobil itu sedang membawa penduduk yang trauma sedikit lebih jauh dari lokasi gempa paling terdahsyat yang menimpa Turki dalam beberapa dekade.
Di seberang jalan, sebuah keluarga yang putus asa berjalan di tengah hujan yang membekukan, barang-barang mereka menumpuk di kereta dorong. Mereka mencari tempat berteduh untuk bermalam.
Sanliurfa, salah satu kota besar di tenggara Turki, dilanda gempa besar yang merenggut sedikitnya 3.000 nyawa di sebagian besar wilayah Kurdi dan negara tetangga Suriah.
Bencana tersebut merobohkan hampir 3.500 bangunan di 10 provinsi, melukai lebih dari 11.000 orang dan membuat sejumlah orang terjebak di bawah puing-puing.
Dampak bencana itu tampak luar biasa.
Para penyelamat berusaha menyelamatkan korban di bawah puing-puing dari dari gedung berlantai tujuh di salah satu jalan raya utama Sanliurfa.
Setidaknya 30 orang diketahui tewas di provinsi ini, di mana 200 bangunan runtuh akibat gempa berkekuatan 7,8 magnitudo yang terjadi pada dini hari dan gelombang gempa susulan yang tak henti-hentinya.
“Ada keluarga yang saya kenal di bawah reruntuhan,” kata Omer El Cuneyd, mahasiswa Suriah berusia 20 tahun yang tinggal di dekatnya.
“Sampai pukul 11 siang, teman saya masih menjawab telepon. Tapi setelahnya dia tidak menjawab lagi. Dia ada di bawah. Saya kira baterainya habis,” katanya berusaha tetap positif.
Menyelamatkan Teman
Namun, aksi penyelamatan itu bukanlah tugas yang mudah. Di depan Omar, berserakan sisa-sisa sofa yang sudah rusak, kursi dengan kaki besi yang retak, dan beberapa gorden yang robek, semua tanda dari kehidupan yang tenang dan sederhana yangmasih tersisa.
Belasan orang mencoba mengangkat bongkahan besar puing beton, sambil berusaha mencari korban yang selamat.
Mereka akan mengambil jeda diam, mengintip ke dalam puing-puing, dipenuhi dengan campuran kelelahan, kesedihan dan harapan.
Omer berkata dia dan teman-temannya akan tinggal di sini sepanjang malam, tidak peduli hujan dan dingin.
“Saya harus (terus berada di sini),” katanya.
Tak jauh dari lokasi Omer berada, Emin Kacmaz berkerumun di sekitar api unggun yang dia bangun bersama tiga pegawai lainnya di luar toko furnitur mereka.
Terbungkus rapat dengan selimut tipis, mereka berdiri menjaga toko yang telah hancur itu dari sekumpulan pencuri.
Jendela-jendela toko yang sangat besar pecah dan tiang-tiangnya yang besar retak, hampir tidak mampu menopang bangunan tujuh lantai yang rusak yang menjulang tinggi di atas kepala.
“Bangunan itu tidak aman,” kata pria berusia 30 tahun itu, tetapi dia tidak mau mengalah.
“Kami akan tinggal di sini sepanjang malam. Ini mata pencaharian kami.”
Semua Orang Takut
Beberapa ratus meter jauhnya, di tempat parkir di jalan yang sama, Mustafa Koyuncu, 55 tahun, istri dan kelima anaknya duduk berdesakan di dalam mobil putih.
Mereka tidak bergerak.
“Kami menunggu di sini karena kami tidak bisa pulang. Untuk saat ini tidak diperbolehkan,” kata Koyuncu. Pemerintah Turki memang memerintahkan warganya agar tetap berada di jalan demi keselamatan mereka.
Dia masih mengulurkan harapan untuk bisa kembali ke rumah pada Senin pekan depan.
Namun jika mimpi itu kandas, mereka semua akan pergi ke masjid di dekat rumahnya, yang seperti masjid lainnya telah diubah menjadi pusat penampungan.
“Bangunan kami aman,” desak Koyuncu.
Namun, putri sulungnya tidak sependapat.
“Tidak, dia tidak begitu yakin!” dia menyela.
Ayahnya menyaut dengan nada ragu, “Siapa yang tidak takut sekarang?” dia mengakui. “Semua orang takut.” [ah/rs]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia