Oleh: F.X. Lilik Dwi Mardjianto, Universitas Multimedia Nusantara
Masalah misinformasi di Indonesia telah menyebar luas di masyarakat, bahkan berdampak pada isu-isu bidang politik, agama, dan kesehatan. Apalagi, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin dekat.
Insan pers dan organisasi masyarakat sipil kemudian menginisiasi gerakan pengecekan fakta secara digital sebagai upaya untuk memberantas misinformasi. Dua organisasi yang pertama kali mewujudkan inisiatif ini adalah Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang bekerja sama dengan Google News Initiative.
Ketiganya meluncurkan cekfakta.com, sebuah platform berbasis web yang memfasilitasi kolaborasi antara 25 institusi pers Indonesia untuk berbagi hasil pengecekan fakta. Cara kerjanya adalah dengan mempublikasikan konten untuk melacak dan mengoreksi konten lainnya yang diduga mengandung misinformasi.
Pers Indonesia telah membangun jaringan secara lokal dan internasional untuk meningkatkan kemampuan pengecekan fakta melalui komunitas ini.
Salah satu inspirasi di balik gerakan cek fakta ini adalah Google News Initiative. Organisasi ini menyediakan dana sebesar 33 juta dolar AS (sekitar Rp 492 miliar) untuk mendukung literasi digital dan program pemberantasan misinformasi di Asia Pasifik. Lebih dari 1.000 media dari 32 negara, termasuk Indonesia, telah bergabung dalam komunitas tersebut.
Inisiatif cek fakta secara besar-besaran ini menjadi langkah penting untuk melindungi publik dari informasi yang salah.
Namun demikian, riset terbaru kami dari tim peneliti Program Studi Digital Journalism, Universitas Multimedia Nusantara (UMN), menemukan bahwa gerakan cek fakta di Indonesia masih kurang mendapat perhatian publik.
Salah satu penyebabnya adalah karena konten-konten cek fakta masih didominasi oleh elemen tekstual. Elemen visual yang lebih dominan dapat membuat konten cek fakta lebih menarik bagi publik.
Publik ingin lebih banyak tampilan visual
Dengan dukungan dari Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Google News Initiative, kami melakukan penelitian pada tahun 2022 terhadap 1.596 audiens yang mewakili berbagai daerah di Indonesia. Kami bertanya tentang preferensi mereka terhadap format cek fakta yang diproduksi oleh jurnalis Indonesia.
Pada tahap awal penelitian, kami mengidentifikasi tujuh format cek fakta yang diproduksi oleh komunitas cek fakta, yakni:
- teks dengan foto,
- infografis statis,
- pernyataan bantahan terhadap pernyataan tokoh politik,
- siaran langsung (live) di Instagram,
- video diiringi musik,
- video dengan narator, dan
- video dengan reporter.
Kami mengukur preferensi audiens untuk setiap format menggunakan empat variabel, yaitu seberapa familier audiens dengan konten tersebut, seberapa sering mereka melihat konten tersebut, seberapa besar mereka menyukainya, dan seberapa besar kemungkinan mereka akan menggunakannya.
Salah satu hasil yang menarik adalah, meski hampir separuh (49%) responden merasa bahwa cek fakta dalam bentuk teks bermanfaat, mereka sebenarnya kurang menyukainya. Audiens mengaku akan lebih menyukai konten yang dipublikasi dalam bentuk visual, seperti video maupun foto.
Sebanyak 901 responden (60,6%) mengungkapkan mereka “sangat suka” konten cek fakta yang berupa video pendek dan dilengkapi teks, foto, dan musik latar.
Sementara itu, 853 responden (60,8%) menyatakan “sangat suka” bentuk konten cek fakta yang disampaikan melalui siaran langsung di Instagram.
Kedua format cek fakta tersebut – video pendek dengan musik latar dan Instagram live – lebih disukai daripada teks yang panjang. Perbandingan pilihan audiens dapat dilihat pada grafik berikut.
Dalam konteks format cek fakta, data kami menunjukkan bahwa mayoritas responden di Indonesia menganggap diri mereka “sangat familier” dengan video pendek yang dilengkapi musik latar dan Instagram live. Ini artinya audiens lebih sering mengakses kedua format tersebut.
Sebaliknya, mereka merasa tidak terlalu familier terhadap konten cek fakta berupa teks.
Evaluasi untuk para pengecek fakta
Wartawan Indonesia telah memerangi misinformasi selama bertahun-tahun. AMSI dan AJI, didukung oleh Google News Initiative, telah melatih ribuan jurnalis pada 2018 dan 2019 untuk memproduksi konten cek fakta.
Laporan Google News Initiative tahun 2020 mengungkapkan bahwa program cek fakta di Indonesia telah berhasil melatih lebih dari 10,800 jurnalis sejak 2018.
Jurnalis yang terlatih itu adalah pasukan dunia maya yang sangat besar, yang terlibat langsung dalam memerangi misinformasi selama kurang lebih tiga tahun. Ini adalah waktu yang cukup untuk mulai mengevaluasi apakah konten cek fakta yang mereka hasilkan disukai oleh publik.
Penelitian kami memberikan rekomendasi awal bahwa pers Indonesia perlu memproduksi lebih banyak konten berbasis visual agar kampanye melawan misinformasi terus berlanjut.
Riset kami juga merekomendasikan pada para pihak yang terlibat langsung dalam komunitas ini tentang perlunya menciptakan konten-konten cek fakta yang lebih menarik secara visual guna menarik perhatian publik. Kalau tidak, publik bisa mengabaikannya begitu saja.
Dalam konteks Pemilu 2024, pengecekan fakta menjadi semakin penting untuk memastikan publik mendapatkan informasi yang benar, sehingga dapat mengambil keputusan politik yang objektif dan relevan.
Tanpa pengecekan fakta, publik bisa terjebak dalam gelombang propaganda dan kebohongan, seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
Inisiatif pengecekan fakta penting dan dapat meningkatkan pemahaman publik. Tetapi jika konten tersebut gagal menarik perhatian publik, maka semuanya akan menjadi sia-sia.
F.X. Lilik Dwi Mardjianto, PhD Candidate at the News and Media Research Centre, University of Canberra. Researcher in journalism, Universitas Multimedia Nusantara
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.