Wawan Kurniawan, Universitas Indonesia
Dinasti politik seringkali diartikan sebagai warisan kekuasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada satu sisi, memang keberadaan dinasti politik dapat menciptakan citra stabilitas dan kontinuitas. Keluarga-keluarga politik ini biasanya memiliki sejarah panjang dalam pemerintahan sehingga mereka punya “keakraban” dengan rekam jejak dan kebijakan negara. Ini bisa membuat pemilih merasa lebih nyaman. Misalnya, pemilih yang lebih condong memilih seseorang dari dinasti politik umumnya meyakini bahwa individu tersebut akan melanjutkan kebijakan dan tradisi yang telah ada.
Namun di sisi lain, dinasti politik berpotensi membawa dampak negatif yang signifikan. Ini karena pewarisan kekuasaan sangat lekat dengan nepotisme dan menyebabkan kurangnya kesegaran dalam ide-ide politik. Pemilih yang lebih kritis akan menyadari bahwa dinasti politik dapat menghambat inovasi dalam proses politik. Isu seperti korupsi, favoritisme, dan pengabaian meritokrasi sering menjadi keprihatinan utama.
Lebih jauh, dinasti politik juga dapat memengaruhi proses pemilihan melalui penggunaan sumber daya yang substansial. Keluarga-keluarga ini sering memiliki akses ke jaringan sosial, keuangan, dan media yang luas, memberi mereka keuntungan dalam kampanye dan menjangkau pemilih. Hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam kompetisi politik, karena calon yang bukan berasal dari dinasti politik mungkin kesulitan untuk bersaing.
Dinasti politik seharusnya menjadi hal yang patut diberi perhatian khusus. Kita butuh upaya untuk memutus rantai dinasti yang dapat mengikat kebebasan kita nantinya.
Dinasti politik hari ini
Sebuah riset tentang dinasti politik dalam tiga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sepanjang 2017-2020, dengan total 508 kabupaten/kota, menunjukkan bagaimana elektabilitas kandidat yang berasal dari dinasti politik cenderung tinggi.
Dari total 508 itu, terdapat 247 kabupaten/kota yang memiliki kandidat bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota yang memiliki hubungan darah ataupun perkawinan dengan figur yang memiliki jabatan, seperti kepala daerah, anggota dewan yang berada di DPR/DPRD, baik yang masih berkuasa ataupun berkuasa pada periode sebelumnya. Dari 247 itu, kandidat dinasti politik menang di 170 kabupaten/kota atau persentasenya mencapai 69%.
Sementara itu secara jumlah kandidat, calon bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota yang terindikasi berasal dari dinasti politik adalah sebanyak 305 orang, atau 10% dari total 3.030 jumlah kandidat.
Walaupun hanya 10% jumlah kandidat yang terindikasi dinasti politik, namun rasio kemenangan mereka mencapai 69%. Artinya, kandidat yang terafiliasi dinasti memiliki probabilitas yang besar untuk memenangkan kontes politik.
Biasanya, keterpilihan tersebut dipengaruhi oleh program kerja pendahulunya yang dianggap cukup memuaskan atau telah memiliki popularitas yang lebih tinggi. Sebagai contoh, masyarakat merasa puas dan percaya akan kepemimpinan seorang kepala daerah, maka jika di periode berikutnya anaknya maju dalam Pilkada, anak tersebut akan dengan mudah memenangkan pemilihan karena diyakini akan melanjutkan program orang tuanya tersebut.
Ini kerap terjadi di daerah yang pembangunan infrastrukturnya pesat, seperti pembangunan jalan raya, karena infrastruktur adalah program yang dapat dirasakan langsung oleh publik.
Namun, sebagai konsekuensinya, langgengnya dinasti politik dapat menyebabkan meluasnya budaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kita bisa melihat kasus Bupati Klaten Sri Hartini, yang akhirnya terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016. Sri Hartini dianggap berasal dari dinasti politik karena mendiang suaminya, Haryanto Wibowo, juga pernah menjabat Bupati Klaten periode 2000-2005.
Memutus rantai dinasti
Sudah pasti budaya dinasti politik tidak bisa dibiarkan terus-menerus, apalagi dianggap normal.
Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan membuat regulasi, atau menguatkan regulasi terkait yang sudah ada, yang dapat membatasi praktik dinasti politik.
Beberapa negara telah mencoba untuk mengimplementasikan undang-undang (UU) yang membatasi jumlah anggota keluarga yang dapat bertugas dalam jabatan politik yang sama atau berturut-turut.
Di Amerika Serikat (AS), misalnya, memang tidak ada UU federal yang secara eksplisit melarang dinasti politik. Namun, ada aturan dan norma yang mencegah nepotisme dalam pemerintahan. Misalnya, “Anti-Nepotism Statute” atau “Bobby Kennedy Law” yang diadopsi setelah Presiden John F. Kennedy menunjuk saudaranya sebagai Jaksa Agung. Hukum ini dirancang untuk mencegah pejabat federal dari menunjuk kerabat dalam lingkungan yang mereka pengaruhi atau kontrol.
Di Indonesia, dinasti politik sebenarnya secara tidak langsung sudah dilarang melalui Pasal 7 huruf r UU No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, yang berbunyi:
“Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: (r). tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.”
Sayangnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 memutus bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hakim berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.
Ini juga kadang dianggap sebagai paradoks demokrasi, akan tetapi urusan dinasti bukan masalah menghalangi peluang seseorang untuk terpilih. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ancaman yang ditimbulkan dapat mempertaruhkan kelangsungan demokrasi itu sendiri.
Pasal tentang dinasti politik di atas masih sampai pada tataran gubernur, belum pada presiden atau wakil presiden. Perkara ini masih akan menjadi perbincangan atau perdebatan yang cukup panjang.
Partisipasi aktif masyarakat dan media
Selain mengharapkan adanya UU yang mengatur secara sah, dibutuhkan partisipasi aktif dan kritis pemilih. Penting untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif dari dinasti politik terhadap demokrasi dan tata kelola yang baik.
Pendidikan politik bagi masyarakat dapat membantu mereka memahami pentingnya meritokrasi dan keberagaman dalam kepemimpinan. Hal tersebut dapat mendorong pemilih untuk membuat keputusan berdasarkan informasi, bukan hanya berdasarkan nama atau latar belakang keluarga.
Di luar dari itu semua, media memainkan peran penting dalam mengungkap dan menantang praktik dinasti politik. Praktik jurnalisme investigasi yang kuat dan independen dapat membantu mengungkap nepotisme dan korupsi.
Peran media sebagai wadah untuk memberikan wawasan yang mendalam tentang dampak dinasti politik terhadap kebijakan publik dan tata kelola, tentu dapat meningkatkan kesadaran publik dan mendorong debat yang lebih luas tentang pentingnya keberagaman dan inklusivitas dalam representasi politik.
Selain itu, media sosial dan platform digital kini menawarkan ruang bagi suara-suara alternatif dan gerakan akar rumput untuk menantang status quo, memungkinkan partisipasi publik yang lebih besar dalam diskusi ini. Dengan demikian, media tidak hanya berfungsi sebagai pengawas tetapi juga sebagai katalisator untuk perubahan dan reformasi dalam struktur kekuasaan politik.
Pada akhirnya, pengaruh dinasti politik terhadap suara pemilih adalah hasil dari dinamika kompleks antara keakraban dan warisan versus kebutuhan akan pembaharuan dan integritas dalam kepemimpinan politik. Keseimbangan ini berubah-ubah tergantung pada konteks sosial-politik masing-masing masyarakat, serta tingkat kesadaran dan kritisisme pemilih terhadap sistem politik yang berlangsung.
Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.