ZONAUTARA.com – Aksi penanaman mangrove digelar di Desa Tiwoho, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Bunaken. Aksi yang turut dihadiri Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Alue Dohong, dilakukan bertepatan dengan Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia.
Hari Lahan Basah Sedunia diperingati setiap tanggal 2 Februari, sebagai kesempatan ajakan untuk mengkampanyekan secara global pentingnya lahan basah.
Peringatan ini mengadopsi Perjanjian Internasional tentang Pelestarian Lahan Basah (Konvensi Ramsar) yang ditandangani pada tanggal 2 Februari 1971. Tujuan utamanya adalah mendorong upaya konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana melalui aksi nasional dan kerjasama internasional untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan di seluruh dunia.
Tema besar peringatan lahan basah tahun 2024 adalah ‘Wetlands and Human Wellbeing’’, atau Lahan Basah dan Kesejahteraan Manusia. Hal ini sebagai pengakuan bahwa lahan basah merupakan bagian penting bagi manusia dan alam, termasuk manfaat dan jasa serta kontribusinya.
Dalam kesempatan penanaman serentak mangrove di Desa Tiwoho ditanam sebanyak 1.500 bibit Rhizophora sp. Bibit tersebut merupakan hasil pengembangan Kelompok Karya Muda Desa Tiwoho Binaan Balai Taman Nasional Bunaken.
Ada sekitar 200 orang peserta yang mengikuti penanaman ini, yang terdiri dari Pejabat Tinggi Madya KLHK, Pejabat Tinggi Pratama KLHK, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan se Sulawesi Utara beserta staf, Forkopimda Sulawesi Utara, Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Utara, para Pejabat Pimpinan OPD Provinsi Sulawesi Utara, Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara, jajaran MUSPIKA Kecamatan Wori, tokoh agama, tokoh pemuda, dan masyarakat Desa Tiwoho.
Taman Nasional Bunaken
Taman Nasional Bunaken sebagai perwakilan ekosistem tropis perairan laut memiliki posisi penting dalam pembangunan dengan memberikan multiplayer effect perekonomian di Daerah Provinsi Sulawesi Utara, terutama dalam bidang pariwisata sebagai bagian Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DSP) Likupang.
Kawasan ini juga berada di pusat segitiga karang dunia (coral triangle) dan jaringan Cagar Biosfer Dunia yakni Cagar Biosfer Bunaken Tangkoko Minahasa yang ditetapkan oleh UNESCO di Paris tanggal 28 Oktober 2020.
Sebagai kawasan konservasi berbasis perairan laut Taman Nasional Bunaken dengan luas 73.973,12 ha, terdapat tujuh ekosistem utama yakni ekosistem terumbu karang seluas 6.064,6 ha, ekosistem lamun seluas 5.736,1 ha, ekosistem mangrove seluas 1.696,4 ha, ekosistem hutan pantai seluas 445,7 ha, ekosistem padang rumput seluas 81,27 ha, ekosistem neritik dan oceania seluas 57.969,07 ha dan ekosistem buatan dengan luas 1.979,9 ha.
Kondisi ekosistem ini sebagian besar merupakan lahan basah dengan diisi biota laut antara lain 390 spesies karang dari 63 genera dan 15 famili, lebih kurang 1.000 jenis ikan karang dari 175 famili, + jenis moluska dan crustacea, + 200 jenis mamalia laut (paus dan lumba-lumba).
Ekosistem mangrove sebagai bagian dari lahan basah merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh berbagai jenis pohon bakau tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai yang berlumpur. Ekosistem ini merupakan tipe hutan tropika yang memiliki ciri khas tumbuh di sepanjang pantai yang terpengaruh oleh pasang surut air laut.
Taman Nasional Bunaken dengan hutan mangrove yang ekstensif memiliki peran dan fungsi penting bagi keseimbangan ekosistem di Provinsi Sulawesi Utara. Fungsi tersebut tidak hanya sebagai pencegahan abrasi dan intrusi air laut serta tempat hidup berbagai biota perairan tetapi juga berpotensi dalam penyimpanan karbon dan pengendalian perubahan iklim secara global.
Sejarah mangrove di pesisr Molas Wori
Mangrove yang berada disepanjang pesisir Molas–Wori Taman Nasional Bunaken memiliki kesejarahan panjang dalam mempertahankan komunitasnya. Berada di dua wilayah administrasi Kota Manado dan Kabupaten Minahasa Utara, hutan mangrove pesisir Molas-Wori memiliki luas 214.6 ha.
Sejak 1998, Hukum Tua (kepala desa) Tiwoho mengajak masyarakat menanam mangrove yang berada di pesisir desa guna mengurangi abrasi. Pada dalam jurnal yang ditulis pada tahun 2023 (Djamalludin, dkk (2023), menjelaskan bahwa pada awalnya di tahun 1991 ada seluas 15,2 ha di Desa Tiwoho yang merupakan area tambak. Setelah tidak berproduksi area tersebut ditinggalkan.
Restorasi secara masif dengan berbasis komunitas dilakukan pada tahun 2004. Bersumber dari studi yang dilakukan Djamaluddin (2018), bahwa area pesisir Molas-Wori tumbuh sebanyak 21 spesies mangrove antara lain Avicennia alba, Avicennia marina, Lumnitzera littorea, Excoecaria agallocha, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriopa tagal, Rhizophora apiculate, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, dan Nypa fruticans.
Hal ini menandakan betapa penting dan besarnya peranan mangrove di area tersebut termasuk Desa Tiwoho sebagai perlindungan pesisir. Kehidupan ekosistem mangrove memiliki peran penting lainnya yakni dalam penyerap karbondioksida (CO2) dari udara. Wilayah pesisir Molas-Wori sangat dekat dengan Kota Manado, potensi dan peran mangrove di area ini dalam penyerapan karbon alami sangat diperlukan.
Septia Panjaitan dkk (2022) mencatatkan serapan karbon pada beberapa titik lokasi survei di pesisir Molas-Wori dengan nilai serapan karbon sebesar 3.246,21 ton CO2/ha di Meras dan 5.243,18 ton CO2/ha dikampung Bahowo. Referensi lainnya menyebutkan bahwa serapan karbon untuk jenis Rhizophora mucronata sebesar 398,60 ton CO2/ha dan Rhizophora stylosa 721,582 ton CO2/ha (Rahim dan Baderan 2017).