ZONAUTARA.com – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menyoroti lemahnya pengawasan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Salah satu organisasi otonom Muhammadiyah itu menegaskan bahwa program di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang berjalan sejak Januari 2025 silam, belum sepenuhnya aman bagi penerima manfaat.
Di balik klaim pencapaian lebih dari tiga juta penerima manfaat, tersimpan persoalan serius yang tak boleh diabaikan yaitu; keracunan massal, rendahnya standar gizi, hingga lemahnya pengawasan pangan.
Demikian dikatakan Sekretaris DPP IMM Bidang Kesehatan, Salmah Fauziah, dikutip dari tulisannya yang dimuat pada laman Jakartamu.com, edisi Selasa (6/5/2025). Menurutnya, peristiwa keracunan makanan sudah sering terjadi berulang kali dalam program ini.
“Teranyar, pada 29 April 2025, ratusan siswa dan guru di SMPN 35 Bandung mengalami diare setelah mengonsumsi makanan dari MBG. Sebelumnya, di Cianjur, lebih dari 160 siswa juga keracunan hingga Dinas Kesehatan menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB),” tulis muslimah yang telah menempuh jenjang pendidikan strata satu bidang gizi tersebut.
Namun, alih-alih menyelidiki secara mendalam dan mengambil tanggung jawab penuh, Kepala Badan Gizi Nasional justru menyebut insiden ini sebagai “kesalahan teknis”. Pernyataan ini, dikatakannya, mencerminkan kurangnya keseriusan dalam menghadapi masalah yang nyata-nyata mengancam keselamatan anak-anak Indonesia.
“Bagi kami di DPP IMM, keracunan makanan bukanlah angka statistik yang bisa disepelekan. Ketika satu anak jatuh sakit karena program pemerintah, itu adalah kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban dasarnya: melindungi warga, terutama yang paling rentan. Negara seharusnya memastikan bahwa setiap makanan yang disajikan melalui program MBG benar-benar aman, sehat, dan layak konsumsi,” jelasnya.
Analisis yang dilakukan DPP IMM, termasuk dengan menggunakan data dari CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives), menunjukkan bahwa hanya sekitar 17 persen menu MBG yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan anak-anak.
Bahkan, banyak menu didominasi oleh makanan ultra-proses seperti susu manis dan makanan cepat saji yang justru bisa memicu masalah kesehatan jangka panjang seperti obesitas dan hipertensi. Fakta ini menunjukkan bahwa program MBG lebih fokus pada distribusi massal ketimbang kualitas asupan.
Di sisi lain, aspek pengawasan juga sangat mengkhawatirkan. Banyak dapur yang menyuplai makanan MBG hanya memiliki satu orang ahli gizi, padahal mereka memproduksi hingga 3.500 porsi makanan per hari.
“Situasi ini tentu jauh dari standar keamanan pangan internasional seperti HACCP yang mensyaratkan kontrol ketat pada tiap tahapan produksi, penyimpanan, dan distribusi makanan. Pengawasan yang lemah inilah yang membuka celah besar bagi terjadinya insiden keracunan,” sebut Salmah.
Ironisnya, di tengah berbagai kelemahan ini, pemerintah justru menargetkan perluasan program MBG hingga menjangkau hampir 83 juta anak pada akhir tahun ini. Perluasan ini dilakukan tanpa evaluasi mendalam terhadap kesiapan sistem yang ada.
“Fokus pada kuantitas penerima manfaat tanpa memperhatikan kualitas pelaksanaan justru menjauhkan program dari tujuannya yang mulia. Apalagi, belum ada pemetaan wilayah prioritas berdasarkan kerentanan gizi atau kondisi sosial-ekonomi setempat, jelasnya lagi.
Karena itu DPP IMM memandang program MBG harus dibenahi secara menyeluruh sebelum diekspansi lebih luas. Pembenahan itu dimulai dari penetapan standar keamanan pangan nasional yang ketat.
Setiap dapur yang terlibat wajib disertifikasi oleh Dinas Kesehatan dan bahan makanan yang digunakan harus melalui uji laboratorium secara acak. Para juru masak pun harus mendapat pelatihan berbasis standar gizi dan higienitas. Selain itu, pengawasan harus dilakukan secara aktif dan transparan.
“Kami mendorong pembentukan satuan tugas pengawas MBG di tiap kabupaten dan kota, serta pelaksanaan audit mendadak terhadap dapur produksi. Distribusi makanan harus dilaporkan secara terbuka dan dilengkapi bukti visual yang bisa diakses publik,” tegasnya.
Di sisi anggaran, audit publik harus diberlakukan, dan pembayaran kepada mitra dapur harus dilakukan tepat waktu. Keterlambatan pembayaran bukan hanya melanggar kontrak kerja, tapi juga bisa berdampak langsung terhadap kualitas makanan yang disajikan.
Jika sistem pengawasan, pengelolaan pangan, dan transparansi anggaran belum terjamin, maka ekspansi program harus ditunda. Memaksakan perluasan tanpa kesiapan justru berisiko menciptakan lebih banyak masalah. Keselamatan dan kesehatan anak-anak Indonesia harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar mengejar angka untuk kepentingan politik atau pencitraan.
Di sisi lain, DPP IMM merekomendasikan agar petunjuk teknis pelaksanaan MBG dibuat lebih komprehensif. Juknis harus memuat standar gizi, keamanan pangan, sistem pengelolaan dapur, dan mekanisme monitoring yang dapat diakses publik.
Program ini juga sebaiknya tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan intervensi gizi lainnya seperti edukasi gizi, perbaikan sanitasi, dan program pemberdayaan ekonomi. Keterlibatan aktif Kementerian Kesehatan dalam pelaksanaannya mutlak diperlukan.
DPP IMM juga mendorong pemerintah pusat untuk mendelegasikan sebagian kewenangan ke pemerintah daerah, sembari memperkuat kapasitas daerah dengan pelatihan teknis dan pendampingan dari ahli gizi.
Kemitraan dengan pihak ketiga pun harus diatur dengan jelas, disertai mekanisme mitigasi konflik kepentingan yang merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Semua ini harus dilakukan demi menjamin keberlanjutan dan keamanan pangan yang menjadi hak setiap anak Indonesia.
“Keberhasilan MBG tidak bisa diukur semata dari jumlah anak yang menerima makanan. Keberhasilan sejati adalah ketika makanan yang disajikan benar-benar sehat, bergizi, dan aman. Jika yang terjadi justru sebaliknya—anak-anak jatuh sakit karena program ini—maka kita telah gagal bukan hanya secara teknis, tapi secara moral dan tanggung jawab kemanusiaan,” tulis Fauziah.
***