ZONAUTARA.com – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menggelar diskusi publik bertajuk “Ekonomi Kerakyatan dan Pengakuan Masyarakat Adat” di SleepLess Owl, Jakarta Selatan, pada 8 Oktober 2025.
Acara ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, akademisi, ahli ekonomi, serta tokoh masyarakat adat. Diskusi ini bertujuan untuk menyoroti peran krusial pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat dalam memperkuat ekonomi kerakyatan dan pembangunan berkelanjutan, sekaligus mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI agar mempercepat pembahasan RUU yang telah lebih dari satu dekade tertunda tersebut.
Abdon Nababan, perwakilan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, dalam pembukaan diskusi menekankan pentingnya pengakuan terhadap sistem ekonomi berbasis nilai dan kelestarian lingkungan yang dijalankan oleh masyarakat adat.
Menurutnya, masyarakat adat telah membangun sistem ekonomi yang berakar pada nilai budaya dan keberlanjutan lingkungan, namun kerap berbenturan dengan model ekonomi ekstraktif.
“Kami ingin RUU Masyarakat Adat disahkan agar masyarakat adat menjadi subjek pembangunan, bukan objeknya. Mereka tidak menolak investasi, selama tidak merusak tanah adat dan mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” tegas Abdon.
Senada, Annas Raden Syarif dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menambahkan bahwa masyarakat adat memiliki peran strategis dalam menopang ekonomi bangsa. Ia menyebut masyarakat adat sebagai pondasi bangsa yang menjaga kebhinekaan, sumber daya alam, dan potensi ekonomi daerah.
Hasil pemetaan AMAN menunjukkan lebih dari 1.000 komunitas masyarakat adat menguasai wilayah seluas 33,6 juta hektar, dengan satu wilayah adat saja berpotensi ekonomi hingga Rp1 miliar.
“Pengakuan hak atas tanah adat dengan basis peta yang jelas akan mendorong tumbuhnya ekonomi lokal dan pembangunan berkelanjutan,” tambahnya.
Dari sisi parlemen, Sekretaris Fraksi PKS DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menyambut baik inisiatif diskusi ini. Ia menekankan perlunya kejelasan definisi masyarakat adat untuk menghindari tumpang tindih klaim.
“RUU ini harus memberi definisi yang jelas dan adil. Masyarakat adat telah hidup ratusan tahun sebelum adanya klaim administratif. Selain itu, potensi ekonomi masyarakat adat sangat besar dan perlu diberdayakan melalui kebijakan yang berpihak,” ungkap Ledia.
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, mengingatkan bahwa kebijakan ekonomi harus berpihak dan tidak menambah ketidakpastian bagi masyarakat adat. Ia mengkritik sistem ekonomi ekstraktif yang tidak berkelanjutan dan memuji ekonomi masyarakat adat yang lebih inklusif dan kolektif, seperti pariwisata berbasis komunitas.
“Kita harus beralih ke model ekonomi yang inklusif, baik bagi manusia maupun alam,” tegas Huda, seraya menambahkan bahwa mempertahankan ekonomi ekstraktif hanya akan merugikan bangsa sendiri.
Anggota DPR RI Fraksi PKS, Riyono, menegaskan komitmen partainya untuk mengawal proses legislasi RUU ini.
“Naskah akademik sudah ada dan telah diajukan ke DPR. Namun, karena belum dibahas bersama pemerintah, RUU ini tidak bisa di-carry over. Kita harus memperjuangkan pembahasan lintas partai dan lintas pendekatan. PKS berkomitmen mengawal agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan,” ujarnya.
Prof. Dr. Zuzy Anna, Guru Besar Universitas Padjadjaran, menyoroti penguatan institusi adat sebagai modal ekonomi. Ia menjelaskan bahwa masyarakat adat memiliki nilai dan produktivitas luar biasa yang belum tercatat dalam sensus ekonomi, dan kekuatan utama mereka terletak pada institusi sosial sebagai ‘deep determinant’ ekonomi masyarakat adat.
Penguatan institusi ini akan memperkuat kemampuan mereka menciptakan nilai ekonomi berkelanjutan.
Dalam diskusi tersebut seluruh narasumber dan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menegaskan komitmen untuk terus mengawal proses legislasi hingga RUU Masyarakat Adat disahkan menjadi undang-undang.
Mereka sepakat memperkuat advokasi lintas fraksi dan memperluas dukungan publik agar pengakuan hak-hak masyarakat adat menjadi landasan bagi ekonomi kerakyatan dan keberlanjutan nasional.


