Frangky Kalumata, penyair dan dramawan yang unik karena; –besar di bawah sekolah alam, dan tumbuh di atas dongeng ibu–. Dan Sulawesi Utara sangat beruntung punya sastrawan unggul seperti dia. Kalumata tak saja melahirkan banyak karya sastra, tulisan-tulisannya berupa esai, artikel memberi pengaruh besar pada pertumbuhan dunia kesenian Sulawesi Utara.
Terlahir dengan nama Franciscus P. Kalumata. Lahir di Minahasa, 9 September 1958 dari pasangan suami istri Jakob Kalumata dan Anie Raintung. Pada 1984 menikah dengan Elisabeth Pangkerego memperoleh seorang putra Elfran Kalumata. Tahun 1997 bercerai, dan tahun 2000 menikah dengan Farida Daeng dan dikaruniai seorang anak perempuan Januria Kalumata.
Menyelesaiakan pedidikan di SD Katolik (Roma Katolik) XIX Santo Aloysius di Manado. kemudian mengikuti Ujian Persamaan SMP di Manado. Pendidikan luar sekolah yang pernah dijalaninya antara lain: Workshop State Management, kerjasama Japan Foundation dan Direktorat Kesenian Depdikbud, tahun 1997 dan 1998 di Bandung. Bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Taman Budaya Sulawesi Utara sejak tahun 1980 sampai sekarang. Berbagai kegiatan berkesenian dijalaninya selama berdinas di kantornya. Ia membina kesenian di Sulawesi Utara melalui program-program kerja kantornya.
Selain aktif di kantornya ia juga aktif di luar kantor. Tahun 1992 ia pernah tercatat sebagai redaktur majalah Maesaan yang terbit di Jakarta. Redaktur majalah Nyiur Melambai pada tahun 1996. Sejak tahun 1986 ia aktif di berbagai kelompok teater yang ada di Manado. Beberapa kelompok teater yang pernah dibinanya antara lain: Teater Lawangirung, Sanggar Repsal, Teater Bukit Moria Winangun, Teater Mesba. Dan terakhir ia masih aktif sampai sekarang di Teater Lantera pimpinan Frankie Supit.
Sejak masa SD, ia gemar membaca komik. Komik-komik yang dibaca pada masa itu berupa komik yang bercerita tentang petualangan. Ia juga mempunyai kesukaan membaca karya-karya fiksi. Sedangkan cerita-cerita dongeng ia dapatkan dari ibunya. Ibunya selalu mendongeng untuknya sebelum pergi tidur. Sejak masa SD itu kesenangannya kepada sastra mulai tumbuh.
Mulai menulis cerpen ketika masa SMP (1976). Ia mengikutsertakan cerpennya dalam lomba penulisan cerpen di lingkungan gereja. Sejak itu ia lebih banyak lagi menulis. Ia pun mulai menulis puisi untuk dinikmati sendiri. Dalam hal menulis puisi ia banyak belajar dari Husen Mulahele dan Baginda M. Tahar. Cara yang ia tempuh dalam belajar ini yaitu dengan memperlihatkan karyanya kepada Husen Mulahele dan Baginda M. Tahar. Harapannya supaya puisinya dikomentari dan ia bisa memperbaikinya. Pada masa remaja itu ia sering juga bermain drama di teater gereja.
Naskah drama yang ditulisnya pertama kali berjudul “Si Pali”. Karya-karyanya khususnya puisi banyak dimuat harian yang terbit di Manado, seperti Manado Post, Cahaya Siang, dan Komentar.
Ia juga menulis kritik sastra dan esai tentang drama. Beberapa kritik sastra dan esainya dimuat harian Manado Post. Salah satu judul esainya “Teater Dihidupkan, Teater Menghidupkan” dimuat di Manado Post, pada tahun 1988. Karya-karyanya yang telah diterbitkan: Antologi Puisi Nusantara “Zamrud Khatulistiwa” Yogyakarta: Direktorat Jenderaal Kebudayaan Taman Budaya Yogyakarta. Balada Madi dan Hadijah diterbitkan oleh Taman Budaya Sulawesi Utara dalam Antologi Naskah Drama Empat Nuansa. Karya drama lainnya: “Telur Mitos”, “Si Pali”, “Jika Cinta Telah Mati” (Balada Anak Bangsa), “Kedaulatan yang Terbunuh”, “Kutuk Dosa Bangsa”, “Konspirasi Hegemoni”, “Monoplay Virus Hati Gila”, “Cahaya Perjanjian”, “Korupsi”, Berhentilah Menjadi Pejabat”, kumpulan cerita rakyat Sulawesi Utara “Maasar”.
Karya-karya drama yang pernah disutradarai: “Lelak” (dipentaskan di Samarinda tahun 1987), “Telur Mitos” (dipentaskan di Samarinda tahun 1987), dan “Apolo dari Bellac”, “Kedaulatan yang Terbunuh” (dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta tahun 2003). Dan sekarang sedang menulis “Lakon Orang Pante”. Sementara sejumlah puisinya hingga kini masih tersimpan di arsip pribadinya.