Jalan hidup Benni E. Matindas (lahir 1955 di Manado) —yang disebutnya sendiri sebagai perjalanan puitika— bisa dibagi dalam beberapa ruas. Ruas pertama berawal pada 1975, ditandai ketika ia yang sudah secara serius menulis puisi dan melukis sejak remaja ini mulai mempublikasikan puisi, cerpen dan esainya di media massa yang terbit di Jakarta, Manado, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.
Ruas ini hanya sepuluh tahun lebih, dimana ia menelorkan buku-buku puisi Tahlillahirillahi (Manado: Moraya, 1978), Tadah-Lidah (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), Hari Penentuan (Antologi puisi bersama M.S. Hutagalung dan Shaut Hutabarat, Jakarta: Pena, 1986), kumpulan esai Trifacet Kesenian Daerah, Kesenian di Daerah, dan Daerah Kesenian (Manado: Moraya, 1979); sejumlah naskah drama, seperti Pulang-Pulang (1976), Sang Masingko; Amanat Yang Pasti (1978), Rasul Ditangkap Karena Sifilis (1978), Bumi Kita Kusta (oratorium, 1977), Mazmur Tempurung (opera, 1979).
Sambil mengasuh sekaligus delapan sanggar seni di kampung-kampung, Benni juga mengikuti pameran lukisan. Walau lukisannya selalu paling cepat habis terjual, namun kemudian ia hanya aktif menulis esai dalam katalog pameran buat mengulas karya teman-teman perupa.
Ruas kedua dimulai 1986. Di sini ia menulis hampir seribu artikel dan puluhan buku dengan tema dan disiplin bidang sangat beragam. Meliputi filsafat, sosial budaya, teologi, sejarah, ekonomi pembangunan, politik, hukum, sampai perburuhan dan lainnya.
Buku-bukunya yang terbit antara lain: Paradigma Baru Politik Ekonomi (Jakarta: Bina Insani, 1998), Negarakertagama-Kimia Kerukunan (Jakarta: Bina Insani, 2002), Negara Sebenarnya (Jakarta: Widyaparamitha, 2005).
“Semuanya tetap sebagai manifestasi puitika,” begitu ia menyifati karya-karyanya di masa itu. Masa dimana ia pun sering diminta mengajar filsafat pada sejumlah kelas program pasca-sarjana di Jakarta dan Jawa Barat.
Mengatakan karya ilmiah sebagai pewujudan puitika itu bukan sekadar mencari-cari pengabsahan. Tapi memang sejalan dengan konsepsi estetikanya yang sudah sering ia ekspos, menganterokan yang indah di dalam yang benar di dalam yang baik, pluchrum di dalam verum di dalam bonum, al-jamil di dalam al-haqq di dalam al-khair. Secara lebih radikal dari panyatuan oleh Al-Farabi, Thomas Aquinas, Kant, Dewey, maupun Susanne Langer.
Tahun 2006 ia masuk dalam ruas perjalanan ketiga, jalan berbalik. Dimulai ketika mengasuh Sanggar Pædia — lembaga kajian dan publikasi pengembangan sistem pendidikan. Di samping kegiatan sanggar, ia banyak menulis esai dan makalah tentang kebudayaan, filsafat, termasuk estetika, etika, juga kritik sastra.
Dia juga menulis sejumlah buku, antaranya Meruntuhkan Benteng Filsafat Atheisme Modern (Yogyakarta: Andi, 2010) dan Etika Seharusnya (manuskrip 2015). Juga menulis puisi.
Tentang kalimat dalam puisinya yang umumnya tak diawali dengan huruf kapital tapi selalu pasti diakhiri dengan titik, ia menjelaskan: “Sangat banyak hal dalam kehidupan ini yang terjadi bukan oleh keputusan kita atau kehendak kita. Kita bukan penyebab. Tetapi kita manusia memiliki kesanggupan, karena punya ruh, untuk membuat pengakhiran, atau sekadar notasi bermakna di akhir dari semua yang terjadi.” (Kurator Iverdxon Tinungki)