MINSEL, ZONAUTARA.com – Energi lumayan terkuras saat Tim Zonautara.com yang sedang menggarap project Matadesa.com tiba di Desa Makasili. Maklum suhu udara lagi tinggi karena musim kemarau.
Makasili adalah desa yang berada di Kecamatan Kumelembuai dan berada tepat di kaki gunung Lolombulan.
Lolombulan sendiri adalah sebuah kawasan yang diproteksi dengan status hutan lindung. Kawasan ini meliputi Gunung Lolombulan seluas kurang lebih 1200 hektar yang berada di empat kecamatan yakni, Kecamatan Sinonsayang, Tenga, Kumelembuai dan Motoling.
Penduduk di Makasili sebagaimana penduduk Kumelembuai pada umumnya, menggantungkan hidupnya dari hasil ladang, kebun dan pertanian.
Di saat sedang mengeksplore potensi desa yang berhawa sejuk karena berada di ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut ini, mata tim Zonautara.com tertuju pada seekor satwa mungil di pekarangan rumah warga.
Satwa itu, mudah dikenali karena energik, berbulu hitam, dan merupakan satwa endemik Sulut, Yaki atau Monyet hitam Sulawesi.
Sayang tak seperti Yaki yang ada di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Batuputih, Tangkoko, Bitung, Yaki yang masih kecil ini terantai di sebatang kayu yang dijadikan sebagai tempat mengkerangkengnya.
Rantai sepanjang kurang lebih dua meter itu membatasi gerak energi anak Yaki yang sangat lincah itu. Alhasil dia hanya bisa bergelayut, meloncat dari di antara dua tiang penyanggah, dan sesekali masuk di dalam rumahnya yang dibuat dari papan seadanya.
“Itu umurnya sekitar 9 bulan,” ujar Raymond Liando (52), pemilik Yaki yang melihat tim Zonautara.com mendekat, Selasa (21/8/2018).
Raymond bilang, Yaki itu didapatnya saat pergi ke kebun. Dia melihat ada bayi Yaki yang terjerat di pohon Seho (Enau). Ibu dari Yaki itu tak sanggup menolong bayinya.
Raymond berusaha membebaskan bayi Yaki itu dari jeratan ijuk Seho. Melihat ada yang berupaya menyelamatkan bayinya, Ibu Yaki memilih pergi dan menghilang.
“Jadi saya bawa dia pulang, rawat dan pelihara. Kini dia sudah sangat akrab dengan kami, sudah seperti anggota keluarga,” kata Raymond.
Bayi Yaki itu diberi nama Pasung (cantik). Dan sudah sangat jinak bermain dengan siapa saja yang datang mendekat.
Bahkan saat Raymond menggendongnya, Pasung terlihat bertindak bak seorang anak manusia, yang tertawa geli saat digelitik perutnya.
“Kadang dia sudah tidak mau makan buah, dia lebih suka makan nasi dan ikan,” urai Raymond.
YAKI DILINDUNGI
Yaki (Macaca nigra) adalah satwa endemik yang dilindungi karena populasinya di alam liar semakin terancam. Menurut data survei yang dilakukan beberapa lembaga konservasi, Yaki di seluruh habitatnya tinggal sekitar 5000 ekor. Sebanyak 2000 ekor berada di kawasan konservasi yang terproteksi di Tangkoko.
Sementara sisanya berada di kawasan-kawasan yang bebas ditangkapi, diburu, dijerat oleh warga. Sebagian orang Minahasa mengkonsumsi daging Yaki. Pemburuan Yaki karena dianggap sebagai hama tanaman juga menjadi salah satu faktor pendorong menurunnya jumlah populasi Yaki di alam liar.
Kawasan hutan Lolombulan juga merupakan habitat hidup Yaki. Raymond bercerita bahwa saat mereka ke kebun, masih sangat sering menemui kawanan Yaki. Yaki memang hidup berkelompok.
Yaki juga menjadi satu dari empat satwa kunci Sulawesi Utara selain Babirusa (Babyrousa babyrussa), Anoa (Bubalus sp.) dan Maleo (Macrocephalon maleo).
Berbagai lembaga konservasi kini bekerja berusaha untuk menyelamatkan populasi Yaki dari kepunahan. Di Tangkoko, Macaca Nigra Project telah hadir sekian lama untuk meneliti species unik ini. Sementata Yayasan Selamatkan Yaki terus berkampanye mengedukasi masyarakat di Minahasa untuk melindungi Yaki.
Beberapa lembaga lainnya dengan pola yang berbeda juga mengambil bagian dalam upaya pelestarian Yaki. Wildlife Crime Unit dibawah kendali Wildlife Conservation Society Indonesia bekerja mengungkap perdagangan satwa liar termasuk Yaki.
Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut yang secara teknis diserahi tugas oleh pemerintah mengurusi kelestarian keanekaragaman hayati, meminta masyarakat untuk mengambil bagian penting dalam upaya menyelamatkan kekayaan alam ini.
“Peran pelestarian alam tidak hanya harus dikerjakan oleh kami dan lembaga konservasi, tetapi juga harus melibatkan peran masyarakat secara luas,” ujar Kepala BKSDA Sulut Agustinus Rante Lembang dalam sebuah kesempatan.
Lalu apakah Pasung hanya akan dibiarkan terus terantai di Makasili? Tugas kami tim Zonautara.com adalah memberitakan, selanjutnya tugas lembaga konservasilah yang akan mengambil langkah yang tepat.
Editor: Ronny A. Buol