Oleh : Stenly Kowaas, Komisioner KPU Tomohon
AKHIR tahun lalu, KPU Tomohon menggelar Forum Group Discussion (FGD). Karena temanya soal evaluasi tahapan selang 2018 dan outlook 2019, kami mengundang sejumlah stakeholder kepemiluan. Ada akademisi, mantan penyelenggara, penggiat demokrasi, aktivis dan sudah tentu media.
Melihat daftar undangan, sejak awal beberapa komisioner sudah memprediksi FGD akan seru. Virna Pijoh, Komisioner Divisi Perencanaan dan Data, memberi prediksi yang lebih ekstrem. “Pasti sengit.”
Sejak sesi diskusi dibuka, atmosfirnya langsung panas dan sengit.
“Benar to?” bisik Virna sambil tersenyum. Prediksinya tidak meleset.
Padahal FGD digelar malam. Di Okoy Flower Garden. Sudah pasti dingin. Apalagi Desember.
Dr Johny Taroreh yang duduk di samping saya ikut berujar. “Seru ini komisioner.” Meski sudah sekian kali hadir di berbagai FGD, seminar dan agenda kepemiliuan, akademisi Unima ini tak sungkan ‘memuji’ dinamika yang muncul malam itu. Asyik katanya.
Meski panas, kami happy. Puas malah. Banyak kritik dan masukan konstruktif yang kami dapatkan. Bahkan, ketika Donald Kuhon menguliti kinerja penyelenggara, kami tidak kecewa. Apalagi marah. Padahal, kata-kata dan kalimatnya sangat keras. Keras sekali.
Di Tomohon, Donald memang masuk kategori legend terkait kepemiluan. Apalagi soal teknis. Setiap jadi saksi dalam tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi, entah di Pemilu, Pilpres dan Pilkada, dia selalu jadi salah satu ‘lawan tanding’ terberat KPU Tomohon.
Kritik dan protes yang dia lontarkan setiap pleno rekapitulasi selalu menusuk pada substansi. Cukup beralasan saat pleno rekapitulasi Pilkada 2015, ada moment lucu-lucuan, di mana dia didaulat menjadi Sekretaris Dewan Saksi. Ketuanya Josias Ngantung. Duet maut.
Displaynya memang agak urakan. Suaranya pun serak dan kadang kasar. Tapi Donald seperti paham semua soal kepemiluan. Undang-undang, PKPU, Juknis dan surat edaran, semua diketahuinya. Sangat detil. Jangan pernah beretorika kalau berhadapan dengan orang ini. Siap-siap kalah.
Alkisah, saat rekapitulasi Pemilu 2014 lalu, seorang Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) menelpon saya.
“Donald so muncul.” Suaranya seolah menggambarkan bagaimana suasana pleno langsung terintimidasi, manakalah saksi legendaris ini hadir.
“Tenang saja. Koordinasi kalau ada masalah.” Sudah jadi tugas saya memberikan ketenangan. Padahal, sejujurnya saya penasaran juga bagaimana endingnya. Hehehe…
Benar saja. Situasi yang sebelumnya sudah panas, tambah ribet dengan kehadiran Donald. Dia menanyakan hal yang sebenarnya sepele, tapi terlewatkan saat proses rekapitulasi. Respon personel PPK kurang elok.
Meski tidak juga salah. Lebih disebabkan emosi karena kehadiran Donald. Tapi akhirnya happy ending. Itupun karena masukan yang dia sodorkan sudah inklud jawaban atas masalah itu. Dia lawan sekaligus kawan. Saya selalu respect dengan tipikal seperti ini. Meski pidis, tapi bicara substansi. Bukan sensasi. Apalagi HOAX. Empat huruf yang harus jadi musuh bersama. Bukan hanya KPU saja.
Oke. Kita kembali ke maksud tulisan ini. Sebagai penyelenggara, KPU memang dituntut sempurna. Tanpa cela. Mind-set kami di daerah rajin di-upgrade seperti itu. Kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas. Tidak boleh setengah-setengah. Teman-teman sekretariat dan badan ad hock (PPK-PPS) juga kami dorong untuk kerja sampai di level maksimal kemampuan mereka. Tidak main-main. Super serius.
Meski begitu dalam pelaksanaannya, ada saja masalah yang muncul di sana-sini. Situasi ini membuka ruang buat sejumlah stakeholder untuk melontarkan kritik. Termasuk seperti Donald tadi. Tapi kritik hal yang normatif. Biaya Pemilu sangat mahal. Wajar ekspektasi publik tinggi. Tidak ada yang salah soal itu. Toh, kami juga tidak punya hak untuk melarang orang memberi kritik. Demokrasi butuh ruang berekspresi. Kami sadar soal itu. Sadar sekali.
Fakta dan jejak digital membuktikan, sekian lama KPU merespon berbagai macam kritik dengan cara elegan: Kerja, kerja, kerja. Tidak harus selalu saling perang kalimat di media. Yang kurang dibenahi dan ditingkatkan, yang sudah baik dibikin lebih baik. Jangan pernah puas. Anggaplah kritik sebagai vitamin untuk memompa kinerja lebih baik lagi.
Jadi berbeda kalau kritik itu berbungkus hoax. Kalau begini, harus dilawan. Tidak boleh diam. Bahkan kalau perlu harus agresif mengampanyekan faktanya. Toh, memang jadi kewajiban KPU juga memberikan suguhan informasi yang kredibel buat masyarakat.
Soal Kotak Suara Karton jenis Duplex misalnya. Sudah jelas-jelas aspek yuridis dan teknis terpenuhi. Sebagai lembaga pelaksana aturan, KPU hanya menjalankan apa yang diamanatkan aturan yang disusun bersama pemerintah dan DPR-RI. Secara teknis apalagi. Kotak jenis Duplex ini sudah dipakai sejak Pemilu dan Pilkada sebelum-sebelumnya. Intinya sudah teruji.
Kemudian soal hoax jutaan surat suara Pilpres di dalam kontainer yang sudah dicoblos. Aneh saja jika ada yang termakan isu ini. Bagaimana mungkin ada surat suara sudah tercoblos, sementara faktanya surat suara belum dicetak. Sungguh hoax level bawah. Murahan sekali.
Ada lagi hoax yang paling memilukan. Sudah menyerang personal. Ketua KPU RI Arief Budiman dituduh saudara kandung Soe Hok Gie. Hoax yang satu ini benar-benar kebangetan. Sungguh sesat.
Tujuan dari oknum-oknum jahat ini memproduksi hoax tentang KPU diduga untuk membuat masyarakat tidak percaya dengan KPU. Ini berbahaya karena sudah menjurus pada upaya delegitimasi terhadap lembaga KPU. Sangat beralasan dan patut didukung jika Ketua KPU RI meminta aparat mencari dan memproses oknum-oknum tidak bertanggung jawab tersebut.
**
Usai FGD, saya duduk sambil ngopi dengan Donald dan Beldi Tombeg. Mantan ketua KPU Tomohon. Akrab sekali. Tidak ada jarak. Bicara lepas.
“Biar kita bicara selalu pidis, mar ngoni tetap sayang skali pa kita kang?” Meski kalimat Donald beraroma arogan, saya tidak senewen. Biasa saja. Karakternya seperti itu. Selalu percaya diri.
“Kalau bapak bicara hoax, torang so ndak mo sayang.” Begitu jawaban saya. Dia tertawa. Beldi ikut tersenyum. Semua enjoy. Memang seperti itulah seharusnya. Pemilu itu pesta demokrasi. Harusnya Happy. Bukan hoax. Sesederhana itu. (*)