Banyak orang menyebut Manado sebagai laboratorium kerukunan. Kota ini mampu memelihara kehidupan yang menyejukan bagi warganya.
Harmonisasi di sini adalah harga mati. Kendati beberapa kali sempat diguncang isu intoleransi, namun toh ruh “torang samua basudara” mampu merekat sendi silang pendapat.
Beberapa kali Manado sebagai ibu kota Sulawesi Utara diganjar penghargaan kota paling toleran. Penghargaan itu pun bukan hanya milik Manado, tetapi juga representatif keberagaman di Sulut yang terpelihara.
Dari sisi keyakinan pemeluknya, Kristen adalah mayoritas. Sebanyak 61,28% penduduk Manado pada 2015 memeluk agama Kristen. Protestan terbesar dengan 54,35% dan Katolik sebanyak 6,92%.
Islam adalah agama terbesar kedua dengan 37,82 persen. Sisanya adalah Hindu, Budha dan Khonghucu.
Walau Kristen menjadi agama utama di Manado, namun praktik kehidupan beragama di Kota ini tergolong longgar dan tidak kaku.
Di sini agama bersifat kultural dan tidak formalistik. Sejarah panjang membuat itu menjadi cair. Sebabnya adalah kawin-mawin orang Manado dengan yang berbeda agama.
Jamak anggota rumah tangga di Manado dijumpai dalam berbeda kepercayaan. Jadinya, toleransi menjadi santapan setiap saat.
Bagi orang Manado agama adalah sama. Intinya soal kasih sayang dan berbuat kebaikan. Terutama kepada sesama. Siapa lagi kalau bukan kerabat atau tetangga.
Mencari kualitas pendidikan
Soal hidup dalam keberagaman itu juga bisa dijumpai di dunia pendidikan Manado. Sebagai daerah dengan mayoritas Kristen, banyak yayasan Kristen mendirikan isntitusi pendidikan.
Beberapa persekolahan Kristen bahkan menjadi sekolah unggulan di Sulut. Sebutnya saja Persekolahan Katolik Rex Mundi, Persekolahan Katolik Don Bosco, Persekolah Kristen Eben Haezar dan SMK Kristen Getsemani Manado.
Sekolah-sekolah ini selalu menoreh prestasi baik dalam bidang akademik maupun kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Tak heran itu menjadi idaman bagi orang tua siswa.
Kualitas akedemik yang dihasilkan dari sekolah-sekolah itu terbangun juga dari peraturan sekolah yang ketat dan displin yang ditegakkan.
Rizky Chandra, siswa kelas 11 jurusan Teknik Instalasi Tenaga Listrik di SMK Kristen Getsemani, mengakui displinlah yang membuat dia memilih bersekolah di situ.
Rizky beragama Islam. Adik keduanya bersekolah di pondok pesantren di Jawa Timur. Sementara adik pertamanya ikut dia bersekolah di SMK Getsemani.
“Saya menyukai soal listrik, dan memilih sekolah di sini karena kualitasnya.” ujar Rizky saat ditemui akhir pekan lalu.
Selain Rizky, ada juga Leidiana Maili, siswa yang beragama Islam. Leidiana yang duduk di kelas 10 jurusan teknik komputer dan jaringan itu mengaku memilih SMK Getsemani atas kemuan sendiri.
Soal persekolahan Kristen, Leidiana sudah terbiasa sejak masih SMP. Dia lulusan SMP Kristen 67 Imanuel Bahu.
“Waktu SMP, sekolah itu dekat rumah. Jadi sudah terbiasa di sekolah Kristen. SMK, saya pilih di sini karena sudah tidak asing dengan suasana persekolahan Kristen,” jelas Leidiana.
Astriwati Kantohe (38), orang tua Leidiana tidak melarang pilihan anaknya. Menurutnya, itu hak anaknya memilih sekolah.
“Kami orang tua setuju dengan pilihan mereka. Dua adiknya juga bersekolah di sekolah Kristen. Tidak apa-apa, mereka menginginkan sekolah yang bagus,” kata Astriwati.
Menepis ekslusifitas
Walau berlabel Kristen, namun persekolahan yang dikelola yayasan Kristen di Manado menegaskan terbuka untuk siswa dari semua golongan.
“Sekolah ini tidak ekslusif, terbuka bagi siapa saja yang mau mendaftar. Kami tak memilih golongan agama tertentu saja,” jelas Assisten Direktur Yayasan Eben Haezar, Agus Kakambohe.
Yayasan ini mengelola persekolahan mulai dari taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi.
Lagi-lagi kualitas akademik menjadi alasan siswa beragama lain memilih sekolah di SMA Rex Mundi. Walaupun menurut Agus, saat mendaftar orang tua siswa sudah disodorkan tata terbit yang harus dipatuhi oleh anaknya ketika bersekolah disitu.
“Ya karena ini kan sekolah Kristen, tentu identitas Kristen yang kami tonjolkan,” kata Agus.
Namun demikian, menurutnya itu tidak menganggu keberadaan siswa Muslim di Eben Haezar. Demikian pula pengakuan pengelola sekolah Kristen lainnya.
Di SMA Katolik Rex Mundi, Ryan Ikhsan yang duduk di kelas 12 menceritakan bahwa perlakuan teman-teman siswa lainnya sangat baik.
“Mereka semua baik, tidak membedakan soal agama. Kami sudah persis saudara sendiri. Kami sesasama siswa Muslim tidak bikin kelompok, karena semua merasa sama,” kata Ikhsan.
Iksan memang datang dari keluarga yang menghormati keberagaman. Kakak dan adiknya beragama Katolik, karena ibunya memeluk Katolik, sementara ayah mereka seorang Muslim.
Walau dididik di lingkungan Katolik sejak dari TK, namun Ikhsan mengaku tetap memegang keyakinannya sebagai seorang Muslim. Dia belajar agama di rumah bersama ayahnya.
Soal pelajaran agama itu, Guru Agama Katolik di SMA Katolik Rex Mundi, Frans Komendong menjelaskan bahwa memang sekolah mereka belum menyediakan guru khusus mata pelajaran agama Islam.
“Isi mata pelajaran Katolik juga yang diajarkan di kelas adalah nilai-nilai universal. Semisal soal bagaimana itu kebajikan,” jelas Frans.
Di Rex Mundi menurutnya, siswa beragama Islam diberi ijin dan keleluasaan jika akan menunaikan kegaiatan agama mereka.
“Jadi kalau mereka mau shalat silahkan, mereka sampaikan saja, sekolah akan ijinkan. Cuma saja kami belum menyediakan fasilitasnya,” kata Frans.
Tidak tersedianya fasilitas bagi siswa beragama Islam di Rex Mundi, disebabkan jumlah siswa Islam yang tidak lebih dari 10 orang.
Namun walaupun sedikit, menurut Frans, siswa Katolik tidak pernah memandang siswa Islam sebagai minoritas.
“Semua hidup harmonis dan saling menghargai. Buktinya, sejak dulu selalu ada saja siswa dari agama Islam bersekolah disini,” tambah Frans.
Frans menjelaskan sikap toleransi yang tercipta itu juga dikarenakan, para guru membuka ruang dialog bagi siswa yang berbeda agama.
“Dialog itu memperkaya pengetahuan mereka tentang perbedaan. Mereka jadi tahu bahwa tidak ada agama yang mengajarkan hal yang negatif,” kata Frans.
Soal tidak membedakan golongan dan penganut keyakinan, juga tercemin dari tidak dicantumkannya soal agama di absensi siswa.
Kepala Sekolah SMK Kristen Getsemani, Freddy Wurangian bahkan menepis jika sekolah yang dikelola oleh Gereja GMIM Getsemani Sario itu adalah sekolah berbasis agama.
“Ini sekolah kejuruan umum. Tidak berbasis agama. Jadi siswa dengan latar belakang agama apapun bisa masuk disini. Asal dia setuju dengan aturan sekolah,” jelas Freddy.
Sama halnya dengan di Rex Mundi, di SMk Getsemani, siswa Muslim diijinkan jika ingin menunaikan shalat.
“Ada masjid di dekat sekolah, mereka bisa shalat di sana, dan balik ke sekolah jika sudah selesai shalat. Kami mengijinkannya,” kata Freddy.
Di SMK Getsemani, siswa beragama Islam cukup banyak. Menurut Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan Wens Novi Tampanguma, dari 316 siswa yang ada sekarang, 25 diantaranya beragama Islam.
Menurut Wens, siswa Muslim tidak pernah terlihat hanya berkumpul dengan sesama siswa Muslim, semuanya membaur dan harmonis.
“Ada diantara mereka (siswa Muslim) yang cukup berprestasi dan menjadi pengurus OSIS,” kata Wens.
Tidak adanya sekat ekslusifitas itu juga terlihat dari seringnya siswa Muslim ikut ambil bagian menjadi panitia perayaan hari raya.
“Misalnya ada siswa Muslim yang menjadi panitia perayaan Natal, bahkan ada yang sempat menjadi pembawa acara,” jelas Wens.
Perkaya ke-Indonesian
Bagian Humas Rex Mundi Welly Polii menjelaskan bahwa seluruh siswa di sekolah mereka diajarkan bagaimana menerima perbedaan.
Para guru juga banyak belajar bagaimana mengelola perbedaan menjadi sebuah kekuatan keberagaman. Sebabnya adalah guru di sekolah itu datang dari berbagai latar belakang, tak hanya Katolik.
“Bagi kami perbedaan itu semakin memperkaya sikap toleransi dan harmonisasi. Nilai-nilai yang muncul nantinya adalah nilai-nilai kita Indonesia, bukan kita ini kita itu,” jelas Welly.
Karena pandangan seperti itu, walaupun Rex Mundi dikelola oleh para Suster, namun toh bahkan siswa yang berasal dari Afghanistan pun diterima di sekolah itu.
“Saya baru bersekolah di sini selama tiga bulan, tetapi mereka semua baik kepada saya,” kata Ali Agha Haidari, siswa Kelas X IPS 3 Rex Mundi.
Ali adalah pengungsi dari Afghanistan yang harus tinggal di Rumah Detensi Manado karena masalah kewarganegaraan.
Welly bangga sekolah mereka bisa menampung Ali, sebab sebelumnya Ali bersekolah di SMA Negeri tetapi sering dibully disana.
“Misi sekolah ini adalah membantu sesama, kami malah menampung siswa yang menjadi korban bencana gempa dan tsunami dari Palu,” kata Welly.
Pengamat sosial dan politik Sulut Piters Sombowadile mengaku tak heran dengan kehidupan harmonisasi di Manado dan Sulut pada umumnya.
Menurutnya sejarah panjang telah membentuk karakter orang Sulut toleran kepada semua kelompok. Orang Sulut terbuka bagi siapa saja.
“Walau memang secara teologis masih ada yang perlu dikoreksi dalam soal keberagaman di dunia pendidikan itu, namun secara sosial dan kulutural sudah clear. Kita semua di sini merawat keberagamana, memperkaya keIndonesian,” kata Piters.
Liputan ini dibiaya dari Fellowship Interfaith Training: An inter-religious dialogue for Indonesian journalists, yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen bekerjasama dengan DW Akademie dan Foreign Office of Federal Republic of Germany.
Editor dalam liputan ini, Ronny Adolof Buol, merupakan penerima dana fellowship tersebut.
Tessa Senduk dan Gita Waloni diajak turun dalam liputan.