MANADO, ZONAUTARA.com – Anak milenial adalah generasi yang tak bisa berlama-lama tanpa media sosial, sehingga tidak bisa dipungkiri mengubah banyak hal, baik positif maupun negatif.
Salah satu dampak negatif yang tidak disadari para pengguna adalah sindrom FOMO (Fear of Missing Out) atau ketakutan akan ketertinggalan informasi.
Anita Sanz, seorang psikolog klinis, mengatakan Fomo ini dipicu oleh media sosial. Keberagaman dan kecepatan informasi yang dibawa media sosial mampu membuat orang merasa takut, khawatir, gelisah, kalau tidak mengikuti perkembangan zaman. Ya, contohnya jika smartphone tidak terhubung dengan internet, hidup terasa kurang lengkap.
Biasanya pengidap Fomo ini tidak sadar kalau dirinya sudah terjangkit. Secara kasat mata, tidak nampak dampak dari Fomo. Tapi kalau ditelaah lebih lanjut, orang dengan sindrom ini bisa kecanduan media sosial yang berpengaruh terhadap psikologisnya.
Nah, ini empat ciri-ciri orang dengan sindrom FOMO:
- KEPO
Orang dengan sindrom FOMO akan melakukan segala cara untuk tetap up to date. Kepo adalah singkatan dari Knowing Every Particular Object artinya mengetahui setiap detail objek. Dalam hal ini objek informasi di dunia maya tahu media sosial.
Sindrom Fomo memiliki ketakutan tertinggal informasi, salah satu yang pasti mereka lakukan adalah kepo.
Sebenarnya kepo sendiri wajar dilakukan karena manusia memang punya dasar sifat penasaran. Tapi, kalau sudah jadi kebiasaan sampai membuat ketergantungan, justru akan menimbulkan bahaya. Terlebih kalau yang dikepoin adalah kehidupan orang lain.
Selain bisa memupuk rasa iri, kepo juga menandakan orang tersebut sebenarnya tidak bahagia, selalu cemas, karena tak pernah berhenti membandingkan kehidupannya dengan orang lain.
- Pencitraan
Memilih hidup dalam kebohongan media sosial alias pencitraan, padahal kehidupan nyata belum tentu begitu. Itu salah satu ciri sindrom FOMO.
Orang dengan sindrom Fomo ini lebih memilih untuk menampilkan kehidupan mereka yang terlihat mengikuti tren di media sosial.
Kondisi ini sesuai survei dari LearnVest, perusahaan perencanaan keuangan AS, yang menyatakan lebih dari 56% generasi millennial mengakui alasan mereka memasang foto sedang makan atau mengunjungi tempat yang lebih mahal di media sosial, hanya untuk membuat mereka tampak lebih diminati dan menciptakan kecemburuan sosial.
Nah, jelas disini bahwa yang mereka butuhkan hanyalah pencitraan. Alasannya ya karena ketakutan untuk tertinggal. Ini erat kaitannya dengan istilah social climber. Para social climber ini kerap menggunakan segala cara supaya bisa diterima oleh orang-orang yang memiliki status sosial lebih tinggi dan tidak ragu-ragu meski harus bohong.
- Obsesi berlebihan atau haus akan like, love, atau comment
Penelitian dari University of California Los Angeles: “Perasaan seseorang yang kesenangan melihat notifikasi media sosialnya sama dengan perasaan seseorang yang makan makanan kesukaannya atau seseorang yang memenangkan hadiah undian.”
Studi itu juga menemukan bahwa notifikasi like, comment, love, dan lainnya pada orang yang candu media sosial atau pengidap FOMO mampu mengaktifkan bagian otak yang berkaitan dengan perasaan senang karena penghargaan. Tak heran jika love, like, comment, dan lain-lain, bisa membuat orang terobsesi.
- Merasa khawatir terlalu lama “absen” dari media sosial
Orang yang takut tertinggal informasi atau tren jelas bakal ‘lengket’ dengan smartphone atau media sosial. Beberapa tandanya adalah mereka akan meletakkan ponsel di dekatnya ketika tidur, cemas saat baterai ponsel tinggal sedikit, gelisa saat tak ada koneksi internet, dan selalu mengecek ponsel setiap menit.
Ini karena akan muncul kekhawatiran atau bahkan perasaan bersalah jika mereka sebentar saja ‘absen’ dari dunia maya. Kalau kamu sudah termasuk dalam ciri ini, kamu patut waspada sih, karena itu artinya kesehatan mentalmu sudah terganggu.
Nah, karena Fomo ini dipandang sebagai sesuatu yang tidak selayaknya terjadi. Sebaiknya para pengguna media sosial dapat mampu mengendalikan diri, seperti memberi batasan mengakses media sosial dan lebih fokus berkomunikasi di dunia nyata.
Editor: Ronny Adolof Buol