Catatan Timboel Siregar
Pasal 29 ayat (1e) UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS (UU RS) menyatakan bahwa setiap RS berkewajiban menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin. Pasal 29 ayat (1f) nya mewajibkan setiap RS melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan. Pada Pasal 29 ayat (1p) nya mewajibkan setiap RS melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional.
Pasal 29 ayat (2)-nya menyatakan bahwa pelanggaran atas kewajiban-kewajiban tersebut dikenakan sanksi admisnistratif berupa: a. teguran; b. teguran tertulis; atau c. denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.
Bahwa faktanya saat ini masih ada RS swasta yang belum mau bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk menjalankan Program JKN. Bila mengacu pada Pasal 29 ayat (1e), ayat (1f) dan ayat (1p) tersebut seharusnya seluruh RS mendukung Program JKN dan wajib menerima pasien miskin yang direpresentasikan oleh peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) JKN.
RS-RS swasta yang tidak mau bekerja sama tersebut berlindung pada Pasal 67 ayat (3) Perpres no. 82 tahun 2018 yang menyatakan Fasilitas Kesehatan milik swasta yang memenuhi persyaratan dapat menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Kata “dapat” menjadi celah bagi RS swasta yang tidak mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk tidak menjalankan amanat Pasal 29 ayat (1e), ayat (1f) dan ayat (1p) UU RS.
Selain adanya RS swasta yang tidak mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, ketentuan Permenkes No. 71 Tahun 2013 juncto Permenkes No. 99 Tahun 2015 yang mensyaratkan akreditasi sebagai syarat kerjasama RS dengan BPJS Kesehatan juga menjadi pemicu berkurangnya RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Per 30 April 2019, jumlah RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 2.426 RS dengan jumlah tempat tidur sebanyak 216.901 meliputi 44.495 tempat tidur untuk kelas I, 56.981 untuk kelas II dan 115.425 untuk kelas III. Jumlah RS yang bekerja sama tersebut menurun jumlahnya bila dibandingkan dengan jumlah RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan per 30 Nopember 2018 yang berjumlah 2.446 RS. Penurunan jumlah RS yang bekerja sama ini dikontribusi oleh 14 RS swasta, 1 RS milik Kemenkes, 1 RS milik Pemda Propinsi, 3 RS milik Pemda Kabupaten/Kota dan 1 RS BUMN/BUMD.
Tentunya cukup ironis, dengan jumlah peserta JKN per 30 April 2019 sebanyak 221.105.092 jiwa, koq jumlah RS yang bekerja sama justru menurun bila dibandingkan per 30 Nopember 2018 yang jumlah pesertanya sebanyak 207.834.315 jiwa. Dengan kenaikan jumlah peserta JKN tentunya utilitas JKN di RS pun pasti meningkat. Seharusnya BPJS Kesehatan dan Pemerintah mampu meningkatkan jumlah RS yang bekerja sama dengan peningkatan jumlah peserta JKN, agar pelayanan kesehatan di RS bisa lebih baik lagi.
Persoalan kesulitan mendapatkan ruang perawatan di RS bagi peserta JKN disebabkan oleh tidak seimbangnya jumlah peserta JKN dengan jumlah RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Beberapa kasus yang pernah ditangani BPJS Watch, seperti kasus pasien Dumaris NS (usia 6 tahun) sulit mendapatkan ruang ICU akhirnya meninggal dunia dan pasien Aji N di RS Sutomo yang disuruh menunggu 3 bulan untuk dioperasi, merupakan contoh persoalan yang dialami pasien JKN karena kurangnya RS yang bekerja sama.
Kewajiban RS melakukan akreditasi memang amanat UU RS dan hal tersebut baik adanya, namun memposisikan akreditasi sebagai syarat mutlak kerja sama antara RS dengan BPJS Kesehatan merupakan pembiasan amanat Pasal 29 ayat (1e), ayat (1f) dan ayat (1p) UU RS. Secara tata urutan hokum, Permenkes tidak bisa menegasikan ketentuan dalam UU.
Apakah akreditasi pasti menjamin pelayanan kesehatan kepada peserta JKN akan lebih baik, tentu tidak selalu. Justru dari beberapa pasien JKN yang pernah diadvokasi BPJS Watch, kecurangan yang dialami pasien JKN seperti readmisi terjadi di RS yang sudah berakreditasi.
Saat ini, menjelang akhir Juni, sebagai batas akhir kewajiban RS memiliki akreditasi supaya bisa tetap bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, akan memunculkan masalah lagi seperti awal Januari lalu. Tentunya ada RS yang belum memiliki akreditasi hingga akhir Juni 2019 nanti dan beresiko terputusnya kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus mampu mengatasi dampak akreditasi yaitu berkurangnya jumlah RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, sehingga pelayanan kesehatan tidak menjadi lebih menurun.
Atas sikap RS-RS yang tidak mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan menjalankan Program JKN termasuk tidak mau menerima peserta PBI, seharusnya Pemerintah secara persuasive memberikan insentif ke RS sebagai cara untuk mengajak RS bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, dan pada akhirnya bisa menerapkan penegakkan hukum dengan menerapkan Pasal 29 ayat (2) UU RS.
Pinang Ranti, 27 Juni 2019
Penulis Timboel Siregar adalah Koordinator Advokasi BPJS Watch