MANADO, ZONAUTARA.com – Bila melihat di masa pertengahan abad ke-16, masyarakat yang tinggal di wilayah Nusa Utara telah mengenal kepercayaan. Menurut D. Brilman dalam tulisannya berjudul Onze zendingsvelden, De zending op de Sangi – en Talaud – eilanden door, meski telah mengenal Kristen dan Islam namun pandangan hidup masyarakat lebih bersifat animisme. Lebih tepat lagi bila dinyatakan sebagai suatu campuran yang khas antara kepercayaan ‘mana’, penyembahan orang mati dan kepercayaan pada roh-roh dan dewa-dewa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘mana’ memiliki pengertian tenaga hidup yang tidak berpribadi dan ada pada manusia, binatang, tumbuhan, dan segala macam benda, biasanya untuk jimat atau fetis, serta membawa keberuntungan bagi pemiliknya, tetapi akan menimbulkan kerugian bagi orang yang tidak menghiraukannya (menurut padangan orang Melanesia).
Istilah ‘mana’ pertama kali digunakan oleh zendeling Inggris Codrington untuk menyatakan suatu tenaga sakti penuh rahasia. Tenaga ini menurut pengertian suku primitif berada dalam seluruh alam, dalam manusia dan binatang, dalam pepohonan dan tumbuhan, dalam segala sesuatu dan bisa mengerjakan baik kebahgiaan maupun pemusnahan.
Menurut Brilman dalam karyanya yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan (2000) dengan judul Kabar Baik di bibir Pasifik: zending di Kepulauan Sangihe dan Talaud, segala sesuatu dan istimewa yang luar biasa dan tak dapat diterangkan dianggap bersumber pada kuasa ini. Jika di dalam alam dan masyarakat tidak terjadi sesuatu yang kuar biasa, kuasa itu tetap ada tapi tak menampak.
Ia memberikan gambaran bahwa ‘mana’ bagaikan arus listrik pada suatu saat tidak mengalirkan arus listrik dan tidak berbahaya, tapi oleh suatu sebab kecil – umpanya ditekan suatu tombol – dapat mengakibatkan maut dan kemusnahan pada setiap orang yang terkena sentuhannya, demikian pula hanya menanti suatu hal kecil terjadi untuk menggerakkan kuasa terpendam ini, sehingga udara dan awan-awan pun mengalami pengaruhnya dengan akibat: kekeringan dan kerusakan tanaman, bahkan manusia pun dapat kehilangan nyawanya.
“Jadi adalah sangat penting diusahaka mencegah agar kuasa ini menimbulkan kesempatan untuk mereda dan menyebar melalui waktu penuh larangan-larangan (periode tabu), yang singkat atau berkepanjangan dalam waktu mana orang-orang harus tinggal secara tenang di rumah dan hanya melaksanakan pekerjaan yang penting-penting saja,” tulis Brilman.
Tapi, syukurlah, jelas Brilman, ada juga orang-orang, justru karena memiki fetis-fetis atau amulet-amulet (jimat-jimat) yang mempunyai kuasa sama yang begitu besar dalam diri mereka sehingga dapa menimbulkan suatu kuasa lawan. Dengan demikian dapat mengarahkan kuasa gelap itu, baik untuk kepentingan sesamanya (magi putih, dukun) maupun pribadinya, kerapkali dengan merugikan orang senasibnya (magi hitam, perempuan sihir/songko).
Editor: Rahadih Gedoan
i love this content. i am fan this website.