ZONAUTARA.com – Sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan persoalan Papua pada tanggal 15-21 Agustus 2019 di Surabaya, Malang, dan Manokwari seketika menghentak mata dunia. Sederet respons pemerintah terhadap masalah tersebut turut membuat keruh suasana, di antaranya pelambatan akses internet di wilayah Papua yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo); pengerahan pasukan; dan ketidakberimbangan, potensi sensor, serta intervensi terhadap media.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers berpendapat, upaya yang dilakukan oleh Kominfo dalam melakukan upaya pelambatan dan atau pemblokiran akses internet untuk mencegah masifnya penyebaran hoaks merupakan pembatasan hak-hak publik untuk mengakses dan memperoleh informasi.
Melalui keterangan resminya, LBH Pers menyatakan bahwa langkah Kominfo tersebut membuat masyarakat yang berada di Papua maupun di luar Papua kesulitan untuk mendapatkan informasi yang ada di luar Papua.
“Hal ini juga memperlambat akses wartawan untuk mendapatkan informasi dan memantau kondisi di Papua. Kami, jaringan masyarakat sipil kuatir dengan situasi Papua saat ini. Situasi ini juga membuat tidak ada yang bisa memantau situasi dan memberikan update kekerasan yang terjadi,” kata Ade Wahyudin sebagai narahubung LBH Pers, Rabu (21/08/2019).
Terkait pengerahan pasukan dari luar Papua ke Papua dinilai mencerminkan tindakan solusi yang diutamakan menggunakan pendekatan keamanan. Pendekatan seperti ini justru membuat beberapa kalangan khawatir akan berpotensi terjadinya benturan kekerasan.
“Semua pihak akan dirugikan dengan adanya kekerasan dalam konflik. Seharusnya Pemerintah tidak mendahulukan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik Papua,” ujar Ade.
Mengenai potensi sensor dan intervensi, LBH Pers, memandang bahwa dalam kondisi seperti ini sangat berpotensi terjadi. LBH Pers mengingatkan baik untuk internal maupun eksternal media bahwa tindakan sensor dan intervensi merupakan tindakan pidana dalam UU Pers Pasal 4 ayat 2 jo Pasal 18 ayat 1. Sehingga jurnalis dan media harus berani menyuarakan fakta demi tercapainya masyarakat yang informatif lebih jauh lagi terbukannya peluang keadilan untuk masyarakat Papua.
“Peran media dalam situasi ini adalah bukan hanya mengedepankan jurnalisme damai yang mengesampingkan keadilan dalam masyarakat. Mengingat pemberitaan isu Papua yang dinilai sangat sensitif dan memicu adanya konflik yang baru, jangan sampai terjadi provokasi di antara kedua belah pihak,” kata Ade.
LBH Pers, imbuhnya, meminta kepada perusahaan media dan rekan-rekan jurnalis untuk lebih menggaungkan kepada pemerintah untuk pentingnya pendekatan non-keamanan. Selain itu, media dalam penyebaran pemberitaan isu Papua harus akurat dan mencari narasumber yang berkompeten dan berimbang.
Ada 5 poin desakan yang dikeluarkan LBH Pers, di antaranya mendesak Presiden agar segera memerintahkan aparat Kepolisian dan TNI untuk menarik pasukan dari Papua dan menyelesaikan menggunakan pendekatan non-keamanan. Berikut 5 poin desakan tersebut:
1. Presiden Joko Widodo segera memerintahkan aparat Kepolisian dan TNI untuk menarik pasukan dari Papua dan menyelesaikan menggunakan pendekatan non-keamanan.
2. Aparat Kepolisian untuk segera memproses hukum pelaku pelanggaran UU Anti Diskriminasi Rasial. Bukan lebih dahulu memproses hukum penyebaran video dengan menggunakan UU ITE.
3. Kominfo untuk membuka kembali akses internet bagi masyarakat Papua segala informasi yang terkait dengan peristiwa ini.
4. Dewan Pers dan KPI tidak terburu-buru melakukan pelarangan penerbitan tanpa lebih dahulu meminta klarifikasi dan uji kode etik jurnalistik pada media yang bersangkutan.
5. Perusahaan media dan jurnalis untuk patuh terhadap kode etik jurnalis khususnya keakuratan dan keberimbangan, bebas dari intervensi dari pihak manapun dan berada dalam prinsip jurnalisme damai di tengah konflik.
Editor: Rahadih Gedoan