Bisa berbuat kebaikan dan bermanfaat bagi banyak orang merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi Sabdar Gobel. Sekitar lima tahun terakhir, warga Desa Sauk, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara ini memilih mengabdikan dirinya untuk mangrove.
Keputusan itu didasari atas keprihatinannya melihat ekosistem tanaman mangrove di desanya yang sudah rusak. Karena bagi Sabdar, keberadaan mangrove sangat penting bagi mereka yang tinggal di wilayah pesisir. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis hewan laut. Tempat bertelur ikan. Dan itu membawa manfaat secara ekonomi.
“Masyarakat di sini rata-rata nelayan. Para orang tua dulunya mencari ikan hanya di sekitar kawasan hutan mengrove. Tak harus ke tangah laut. Tapi sekarang tidak lagi. Karena tempatnya berkembang biak sudah rusak,” kata Sabdar.
Dari 15 kecamatan yang ada di Bolmong, lima kecamatan merupakan wilayah pesisir pantai dengan 73 desa. Sebanyak 57 desa diantaranya berada tepat di garis pantaiyang memiliki panjang 150,79 kilometer.
Langkah awal yang dilakukan Sabdar untuk menjaga ekosistem tanaman mangrove adalah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya tanaman yang oleh masyarakat setempat disebut kayu Ting.
Sabdar mengatakan kepada siapa saja yang ditemuinya bahwa mangrove membawa keuntungan ekonomi dan sebagai pertahanan bagi pantai agar tidak terjadi abrasi.
Tak hanya bicara soal manfaat. Ia juga menyampaikan kepada masyarakat bahwa kayu Ting itu dilindungi. Dia selalu membawa fotocopy Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Kertas-kertas fotocopy itu dia sebarkan kepada siapa saja yang dia temui.
“Sambil jalan saya bawa, pakai duit sendiri untuk fotocopy. Saat mampir di warung saya berikan, lihat ada nelayan di pantai saya berikan, sampai menerangkan isi undang-undang itu,” cerita Sabdar, saat ditemui di kediamannya, Sabtu 14 Desember 2019.
Dia menekankan isi Pasal 35 huruf (f) dan (g) yang menyebutkan, pelarangan penebangan mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan lain-lain. Ada pulau ketentuan pidana pada Pasal 73 ayat 1 huruf (b) bagi yang melanggar yang bisa terancam penjara paling sedikit dua tahun dan paling lama 10 tahun, denda Rp 2 miliar-Rp 10 miliar.
Seiring berjalannya waktu, upaya yang dilakukan pria berusia 54 tahun itu terus mendapat dukungan dari warga. Mereka mulai bersepakat untuk bersama-sama menjaga mangrove. Minimal, tidak ada lagi warga yang sembarang menebang.
Pada Medio 2014, Sabdar menggagas mendirikan kelompok pemerhati lingkungan “Monompia” di desanya. Dia merekrut warga desa Sauk sendiri sebagai anggota kelompok itu. Kelompok ini memulai gerakan dengan melakukan pembibitan mangrove. Ratusan bibit dihasilkan dengan suka rela dan tentunya dengan biaya sendiri.
Setelah bibit-bibit itu siap dipindahkan, kelompok itu mulai melakukan penanaman di areal mangrove yang sudah jarang. Di mana ada kawasan yang kosong dilakukan penanaman. Sambil jalan saja. Sesekali, saat berkendara dengan menggunakan sepeda motor berkeliling ke desa-desa wilayah Teluk Labuan Uki, Sabdar biasanya membawa beberapa bibit mangrove.
“Saat menemui ada lahan yang tidak padat lagi, saya tanam beberapa di situ. Cara menanam mengrove kan tidak susah. Tidak perlu digalih terlalu dalam. Bahkan hanya menggunakan tangan saja boleh,” terang pria kelahiran, Sauk 24 Oktober 1965 itu.
Sabdar mulai dikenal sebagai pemerhati lingkungan. Pada 2015, Pemerintah Kabupaten Bolmong melalui Dinas Lingkungan Hidup mengukuhkan ratusan kader lingkungan se Kabupaten Bolmong. Salah satunya adalah Sabdar. Disusul dengan dibentuknya Komunitas Peduli Kelestarian Lingkungan Hidup “Bumi Lestari” untuk skala Kabupaten. Sabdar ditunjuk sebagai ketua. Komunitas ini fokus terhadap isu-isu lingkungan. Tidak hanya soal mangrove. Tapi, Sabdar dengan kelompoknya menyasar pula pada isu-isu lingkungan khusus di wilayah pesisir.
Salah satu aksi yang getol dilakukan Komunitas Bumi Lestari adalah mengawasi keberadaan mangrove di wilayah pesisir Bolmong. Mereka mulai melebarkan sayap dengan menjangkau desa-desa tetangga. Yakni Desa Baturapa, Baturapa Dua, dan Labuan Uki. Kawasan pesisir di empat desa itu disebut Teluk Labuan Uki. Kondisi mengrove kurang lebih sama. Tidak rapat lagi. Hanya di Baturapa saja yang masih lumayan rimbun.
Pada 2016, sedikitnya ada sembilan kasus perusakan mangrove yang mereka adukan ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Utara. Baik yang dilakukan oleh oknum pengusaha, perusahaan bahkan oknum anggota TNI.
“Sayangnya, dari sembilan laporan itu tidak ada sama sekali yang ditindaklanjuti hingga ke proses hukum. Padahal, itu jelas-jelas pelanggaran undang-undang,” kata Sabdar.
Komunitas Bumi Lestari pun mulai membangun kerjasama dengan beberapa pihak baik pemerintah maupun swasta. Salah satunya dengan PT PLN Persero Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Kotamobagu. Program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka untuk bidang lingkungan sebagian besar dialihkan ke mangrove. Bahkan PT PLN Persero Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Kotamobagu membuat kawasan restorasi mangrove di Desa Baturapa.
Kerja-kerja tulus Sabdar tak selamanya berjalan mulus. Dia mengaku pernah diteror oleh oknum-oknum yang merasa terganggu dengan aksi-aksi yang dia lakukan. Belakangan, terror itu diketahui datang dari pengusaha. Dia enggan menyebut nama. Tapi lagi-lagi, itu tak menyurutkan niatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan di kawasan pesisir.
“Saya juga pernah bujuk dengan iming-iming materi. Tapi saya menolak,” tegasnya.
Baca laporan khusus tentang mangrove Labuan Uki: Membentengi mangrove dengan Perdes
Pada 2017, ia menerima penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Bolmong atas pertisipasinya dalam rangka pelestarian lingkungan hidup. Meski begitu, dirinya tetap menyayangkan karena tidak ada upaya dari pemerintah daerah untuk serius menjaga eskosistem mangrove. Buktinya, sampai sekarangtidak ada produk hukum skala daerah yang khusus memproteksi mangrove. Minimal membuatkan zonasi kawasan yang mengatur zona budidaya, zona inti dan zona pemanfaatan.
“Supaya ketika ada masyarakat atau pengusaha yang ingin memanfaatkan areal kawasan mangrove itu bisa tahu dimana saja yang bisa dimanfaatkan. Termasuk untuk usaha. Tapi sampai saat ini belum ada zonasi,” katanya.
Saat ini, Sabdar bersama komunitasnya tengah fokus pada pembibitan mangrove. Dia membuka pintu bagi sapa saja yang ingin memesan bibit. Entah itu swasta maupun pemerintah yang memiliki program terkait restorasi kawasan mangrove. Harganya relatif lebih murah dibanding di tempat lain.
“Belum lama ini ada penanaman 1400 bibit mangrove di Desa Babo, Kecamatan Sangtombolang. Itu bibitnya dari kami. Pengadaannya dibiayai lewat APBD Bolmong 2019 karena diusulkan pemerintah desa bersama masyarakat lewat Musrenbang,” katanya. (Marshal Datudungon)
Editor: Ronny A. Buol