Ini adalah bagian kedua dari 11 tulisan catatan perjalanan yang dilakukan Ronny A. Buol ke pedalaman Kalimantan pada 2016 lalu. Bagian pertamanya dapat dibaca di: Bertaruh nyawa menuju kampung.
Persahabatan Jiuq dan Bang begitu akrab. Dua pemuda Dayak Bahau Busang ini tinggal di Data Suling, Long Isun. Sebuah kampung di tepi sungai Mahakam bagian hulu.
Bang mewarisi kecakapan leluhurnya memainkan sapeq (alat musik petik khas Dayak) dan memainkan selingut (suling). Dia juga lihai memanah ikan di sungai dan berburu Rusa di hutan.
Walau tak sepintar Bang dalam memainkan alat musik, namun Jiuq pun selihai Bang, kala mengemudikan ces (sampan khas Dayak pedalaman). Raungan mesin katinting di bagian belakang ces seolah mengukuhkan bahwasanya mereka adalah pewaris Dayak Bahau. Salah satu sub suku Dayak yang mendiami wilayah di pedalaman dan memilih bermukim di tepi sungai Mahakam.
Semua pria Dayak Bahau terlatih mengemudikan ces, bahkan ketika masih berusia bocah. Sebab sungai bagi mereka adalah akses utama bepergian. Sungai dan ces membuat perjalanan melewati hutan, bukit dan gunung menjadi lebih singkat.
Dahulu, kala leluhur mereka belum mengenal mesin katinting, dayung adalah penggerak utama ces. Amai Ding (72) bertutur, kala itu perjalanan ke satu kampung tetangga bisa memakan waktu berhari-hari, berminggu bahkan berbulan jika kerabat mereka jauh di hilir.
Ces harus didayung melawan arus, melewati riam, bahkan tak jarang ces harus diderek ke daratan, dipikul berkilo meter karena riam terlalu beresiko untuk dilewati.
“Kami selalu membawa kayu pengait. Saat arus kencang, kayu itu kami kaitkan ke akar atau cabang pohon yang menjorok ke sungai. Lalu kami menariknya agar ces bisa melawan arus, begitu seterusnya,” cerita Amai Ding.
Walau kini telah menggunakan katinting, bukan berarti perjalanan yang dilakukan Jiuq dan Bang tidak beresiko. Saat permukaan air Sungai Mahakam meluap, adalah tantangan berat bagi mereka. Selain arus yang sangat kuat, batang-batang kayu yang hanyut juga mengancam keselamatan ces yang mereka kemudikan.
Pun dikala permukaan air sungai sedang surut karena kemarau, mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra menyeret ces agar bisa lewat. Kondisi permukaan air yang sering berubah itu juga yang membuat orang Dayak membuat sampan mereka secara khusus, agar bisa melewati berbagai rintangan.
Sama halnya Jiuq dan Bang, semua rumah tangga di Dayak Bahau setidaknya punya satu ces. Sarana transportasi utama ini digunakan untuk pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari ke kampung yang lebih besar. Ces juga digunakan untuk mengantar anak ke sekolah, mengunjungi kerabat. Dan tak kalah pentingnya, ces digunakan untuk pergi ke ladang serta mencari ikan di sungai.
Dengan ces yang dimilikinya, Jiuq dan Bang kini bersiap pergi ke Long Tuyoq, ibukota Kecamatan Long Pahangai. Mereka berdua menjadi bagian dari kampung Long Isun yang akan mengikuti ritual Hudoq Pekayang.
Di sana mereka akan bergabung dengan ribuan warga lain dari 13 kampung yang ada di Kecamatan Long Pahangai. Semalam suntuk mereka akan lewati dengan menarikan Ngarang, sebuah tarian persahabatan Dayak Bahau. Sementara penari Hudoq melakonkan ritual pemujaan pada dewa. Diantara para pelakon itu, juga berasal dari kampung mereka, Long Isun.
Bersambung ke bagian 2: Kegundahan dari Meraseh
Baca bagian 1: Bertaruh Nyawa Menuju Kampung