Oleh: Fredy Tewu
Tabea waya,
Maengket dan mah’zani (zazanian atau raranian) adalah seni tradisi Minahasa yang setidaknya terdiri dari tiga unsur penting, yakni musik, tari, dan sastra (syair dan lirik lagu). Pada zaman dahulu, di masyarakat tradisional Minahasa yang menganut kepercayaan leluhur, maengket dijadikan pintu masuk untuk berkomunikasi dengan Tuhan sang pencipta (Empung Wailan), sehingga unsur ritual dan doa adalah yang utama.
Seiring berkembangnya zaman, unsur ritual mulai ditinggalkan oleh pelaku maengket dan mah’zani di tanah kelahirannya sendiri, Minahasa. Akan tetapi jika kita menyimak isi dalam lirik-lirik maengket maupun zazanian atau raranian khususnya dalam bahasa Tombulu, kita masih dapat menemukan kata-kata atau frase yang sesungguhnya mengungkapkan doa.
Selain itu makna dalam maengket maupun zazanian atau raranian berisi nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), nasihat atau pesan leluhur (petuah), serta memperlihatkan kesederhanaan dan ketulusan hati se’ ma’engket (mereka yang sedang melakukan engket, zazanian atau raranian).
Adalah Yulin Pangemanan (84 tahun) yang sering disapa Nek’ Lin, salah satu tetua adat di kelurahan Kumelembuai, Tomohon, merupakan sosok yang tekun dan gigih merawat seni tradisi warisan leluhur Minahasa tersebut. Daya ingatnya yang kuat di usia senja, ia masih dapat melantunkan berbagai lirik maengket, zazanian atau raranian tua.
“Merawat” maengket dan mah’zani bagi Nek’ Lin seperti merawat kehidupan. Kita seolah dapat merasakan kehidupan baru ketika Nek’ Lin melantunkan lirik-lirik maengket dan mah’zani, dengan rangkaian nada-nada yang sederhana keluar dari hatinya. Ia pun bertutur tentang kehidupan, bertutur tentang permohonan dan bertutur tentang kepasrahan dan meresapi dengan penuh penghayatan.
Salah satu warisan maengket tua yang dapat dilantunkan Nek’ Lin adalah maengket zaman kedatangan misionaris ke tanah Minahasa yang berhasil dicatat oleh zending P.N. Wilken dari para Wali’an Tombulu sekitar tahun 1843-1850. Isi dari lirik Maengket tua yang tidak diketahui nama penciptanya ini adalah:
Wailan si Rumengan ne patombokan am bene e owei.
Ia un engket ni Rumengan ne patombokan am bene e owei.
Si Empung Maajangbene e patoinbokan am bene e owei.
Poipojan rindenganno-mei e patombokan am bene e owei.
Wanam bua ang kaimio e patombokan am bene owei.
Wen kamij mengupumo e patombokan am bene e owei.
Meii kua mumo e patombokan um bene e owei.
Sa kamu mengupumo e patombokan am bene e owei.
Malialeia wene e patombokan am bene e owei.
Wissa mo e Wailan e patombokan am bene e owei.
dst.
Nek’ Lin lahir pada 14 April 1939 di desa Kumelembuai, Tomohon, Sulawesi Utara. Sejak usia 17 tahun (1957), ia mulai mengenal seni tradisi maengket yang diajarkan oleh Melo Runtuwalian, seorang seniman, penyair, dan pencipta lagu rakyat (folksong) Tombulu.
Setelah satu dasawarsa Indonesia Merdeka, yakni pada 1950an, banyak bermunculan grup-grup maengket, mah’zani dan penyanyi-penyanyi folksong di Minahasa termasuk di Tomohon khususnya di desa Kumelembuai. Bersamaan dengan itu, lahir pula syair dan lirik karya sejumlah penyair dan pencipta seperti Ignasius Mangelep, Albert J. Lengkong, Abedneju Mangulu, Benyamin Posuma dan Melo Runtuwalian.
Hingga kini, sejumlah karya mereka masih dapat dilantunkan oleh Nek’ Lin dan teman-temannya dalam grup Musik Marani Maesaan. Beberapa karya yang sangat populer di kalangan masyarakat Kumelembuai tersebut antara lain berjudul Matuari Kande’en Si Endo Wo Si Lolo’en karya Melo Runtuwalian (1948), Pisok Rumengan karya Corneles Kaunang (1956), Mangemo karya Benyamin Posuma (1965), dan sebagainya.
Nek’ Lin telah berpengalaman mengikuti berbagai grup (tumpukan) maengket dan mah’zani dan grup musik lagu rakyat (folksong) yang melintasi zaman. Akhir 1950an, ia pernah menjadi bagian dari grup Maengket Manguni Rendem yang dipimpin oleh Melo Runtuwalian, anggota grup Pisok Lengkoan – Sonder (1957 – 1960an), anggota grup Makamberu Asli pimpinan Abedneju Mangelep (1960-1970an), anggota grup Esa Genang (1970an – 2000), dan anggota grup Musik Marani Maesaan Kumelembuai (2000-sekarang).
Awal tahun 1960, grup Maengket Manguni Rendem berhasil mendapatkan juara satu pada perlombaan Maengket se Minahasa yang diselenggarakan di Stadion Sam Ratulangi Tondano. Nek’ Lin membawakan suara satu pada waktu itu.
Pada perlombaan Maengket di Kinali, Kawangkoan (1960an) grup Makamberu Asli mengikuti dua jenis perlombaan dan kedua-duanya mendapat juara satu. Grup Esa Genang dan grup Musik Marani Maesaan tercatat beberapa kali mengisi acara pada kegiatan Festival Watu Pinawetengan di Tompaso yang berlangsung sejak tahun 2008 atas prakarsa pemerhati seni budaya Sulawesi Utara, DR. Benny J. Mamoto. Demikian halnya pada even Tomohon International Flower Festival (TIFF) di Tomohon yang digelar semenjak tahun 2006, Nek’ Lin dan grup musiknya beberapa kali diundang tampil mengisi festival seni budaya TIFF tersebut.
Pada 12 hingga 14 Juni 2023, Nek’ Lin bersama-sama dengan tim Forum Seni Budaya Ne’Tombulu (FSBNT) diundang oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) mengisi acara Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan ke-12 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.Dalam kesempatan itu Nek’ Lin bersama Tek’ Alexander Morong didukung oleh tim kesenian FSBNT, Kabasaran Kawanua Jakarta dan instrumen Kolintang Sanggar Bapontar dan Ir. Markus Sugi. Tim ini membawakan jenis kesenian mah’zani atau marani (bertutur, melantunkan lagu, doa dan ritual) dalam rangkaian tradisi pengobatan tradisional kuno Minahasa (etnis Tombulu), tradisi yang sudah hilang di Minahasa, dengan konsep pertunjukan drama musikal.
Terus merawat maengket
Dalam ingatannya mengenai suka duka selama menekuni dunia seni tradisi ini, kesan yang sulit untuk dilupakan yaitu saat bergabung dengan grup Pisok Lengkoan Sonder. Nek’ Lin bercerita, mulanya grup ini tidak pernah mau mengikuti perlombaan Maengket, karena menurut pimpinan Pisok Lengkoan Sonder yaitu Hans Palar, bahwa Maengket mereka punya kekhasan tersendiri yang sulit diikuti oleh grup lainnya sehingga tidak sebaiknya dilombakan.
Hal berkesan lainnya adalah ketika Pisok Lengkoan tampil dalam suatu undangan pernikahan di Desa Rambunan Sonder (akhir 1950an). Tiba-tiba pasukan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) memasuki acara perkawinan tersebut dan sempat membuat suasana pesta menjadi tegang dan hening seketika. Pertunjukan Maengket Pisok Lengkoan pun terhenti ditengah jalan, namun beberapa saat kemudian suasana kembali normal ketika seorang pimpinan Permesta mencairkan suasana dan meminta Maengket melanjutkan pertunjukannya.
Hingga di usia senjanya, eksistensi Nek’ Lin dalam merawat dan melestarikan seni tradisi bertutur dan melantunkan lagu-lagu rakyat masih terus dilakukannya. Ia bersama dengan teman-temannya yang lebih muda dalam grup Marani Maesaan, kerap menerima berbagai undangan mengisi acara seremonial serta pagelaran seni budaya Tombulu yang diselenggarakan oleh berbagai kalangan, Pemerintah Kota Tomohon, Balai Pelestari Budaya Provinsi Sulut dan sebagainya.
Selain itu, Nek’ Lin juga aktif membagikan pengetahuannya kepada generasi muda khususnya anak-anak dengan penuh rasa sayang dan rendah hati. Dikampung halamannya, Nek Lin menjadi “perpustakaan hidup” oleh anak-anak usia sekolah sebagai tempat mereka bertanya, menggali pengetahuan mengenai seni tradisi bertutur, adat istiadat, bahasa, seni budaya, pesan petuah, dan segala hal mengenai kearifan lokal warisan leluhur Minahasa lainnya. Bukan hanya itu, Nek Lin juga mewarisi keterampilan pengobatan tradisional (traditional medicine) yang diturunkan dari orang tuanya, dan hingga saat ini ia telah banyak membantu mengobati masyarakat di kampung halamannya.
Melihat kerendahan hati, ketekunan, kegigihan, kesabaran dan ketahanan diri yang kokoh, serta segala pengetahuan lokalnya itu, tidaklah berlebihan jika Nek’ Lin merupakan gambaran nyata kehidupan sosok perempuan Minahasa yang patut dijadikan contoh dan suri tauladan oleh generasi muda dalam memegang identitas “keminahasaan” ditengah arus globalisasi kehidupan moderen masyarakat digital sekarang ini, dan yang akan datang.
Maestro seni tradisi
Pada 27 Oktober 2023, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI, Nadiem Makarim menganugerahi penghargaan dalam ajang Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) kepada Nek’ Lin bersama-sama dengan Perawat Kebudayaan yang berasal dari berbagai daerah di tanah air dan berapa Indonesianis, oleh karena jasa dan pengabdian mereka yang luar biasa dalam Pemajuan Kebudayaan Indonesia.
Dalam sambutannya pada malam AKI 2023 yang mengusung tema “Para Perawat Harmoni”, Menteri Nadiem Makarim antara lain mengatakan, “anugerah ini bernilai lebih dari sekadar penghargaan, tetapi menyimpan semangat untuk terus menguatkan kolaborasi dalam upaya kita mengembangkan ekosistem kebudayaan di seluruh Indonesia.”
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, M.A., Ph.D., memberikan secara khusus piagam penghargaan kategori Maestro Seni Tradisi kepada Nek’ Lin dalam rangkaian AKI malam itu, disaksikan langsung oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tomohon, dr. Juliana D. Karwur, M.Kes., M.Si.
Secara khusus kepada Nek’ Lin, Kadis Dikbud Kota Tomohon, dr. Juliana D. Karwur, M.Kes., M.Si., menyampaikan harapannya agar melalui penghargaan yang diterima ini dapat memotivasi dan menginspirasi generasi muda Minahasa khususnya di Tomohon, agar lebih giat lagi melestarikan dan mengembangkan seni tradisi bertutur maengket, mah’zani dan lagu-lagu rakyat.
Pada penampilan di malam Anugerah Kebudayaan Indonesia itu, Nek’ Lin mengenakan busana berbahan wastra tenun Pinawetengan karya perancang busana senior Dimas Mahendra. Tenun Pinawetengan yang dipakai Nek’ Lin bermotif patola dan pasolangan yang memiliki nilai-nilai filosofis masyarakat tradisional Minahasa. Secara filosofis, patola mencirikan corak kulit ular piton.
Bagi masyarakat tradisional Minahasa, ular piton dianggap sebagai binatang sakral karena keperkasaannya, dan mampu memberi petanda-petanda tentang alam. Sementara untuk motif pasolangan berupa segi empat dengan lengkung atau ulir di bagian ujung merupakan corak kuno yang menjadi simbol kebesaran para walian (pendeta, tabib, pemuka agama masyarakat tradisional Minahasa) dan tonaas (pemimpin perang, tokoh adat masyarakat tradisional Minahasa). Kain tenun Pinawetengan dikerjakan oleh para penenun di desa Tompaso Minahasa dibawah binaan Iyarita Mawardi Mamoto.
Penghargaan yang diterima Nek’ Lin tersebut telah melalui proses panjang semenjak pengusulan, pengajuan berkas administrasi ke panitia AKI Kemdibud Ristek RI hingga tahap verifikasi lapangan. Antara lain pada pertengahan Agustus 2023, Tim Verifikasi AKI berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Kota Tomohon melakukan kunjungan ke Desa Kumelembuai untuk menemui Nek’ Lin dan mewawancarainya bersama beberapa tokoh masyarakat, pelaku seni budaya dan pemerintah setempat.
Menjadi harapan kita bersama, semoga penghargaan ini bukan saja menjadi milik yang bersangkutan tetapi merupakan kebanggaan seluruh masyarakat Sulut khususnya pecinta seni budaya Minahasa dengan berbagai sub etnisnya. Penghargaan ini patut dijadikan inspirasi dalam upaya pemajuan kebudayaan, serta dapat dijadikan motivasi oleh para pelaku seni budaya lainnya agar kedepan muncul maestro-maestro seni tradisi Minahasa.
Semoga momentum bersejarah ini, menjadi akhir dari “nyanyi sunyi” seni tradisi Minahasa, berangsur-angsur menjadi “nyanyi kita bersama, beramai-ramai” dan dapat menjadi motivasi serta inspirasi generasi digital native (generasi milenial hingga generasi Z) untuk belajar, mengembangkan, melestarikan dan merawat tradisinya masing-masing seperti halnya Nek’ Lin dengan caranya yang sederhana.
Tidak kalah penting, peran serta kita sebagai pegiat media sosial, influencer, insan media massa, penulis, pemerhati atau akademisi yang hidup ditengah-tengah masyarakat digital agar terus mendiseminasikan, menyebarkan informasi konten positif seperti apa yang dilakukan Nek’ Lin dalam upayanya merawat tradisi dengan caranya sendiri selama bertahun-tahun.
Pa’ Katua’an wo Pa’ Kalawir’an
Jakarta, 29 Oktober 2023
Freddy Tewu, S.I.Kom.
(Pemerhati Seni Budaya)