ZONAUTARA.com – Di balik roda ekonomi yang terus berputar, ada pekerjaan sunyi yang menopang kehidupan sehari-hari masyarakat, pekerjaan perawatan tak dibayar.
Aktivitas seperti mengasuh anak, merawat anggota keluarga lansia atau sakit, memasak, membersihkan rumah, dan mengelola rumah tangga umumnya dilakukan di ranah domestik dan tidak mendapatkan upah.
Meski tampak sederhana dan sering dianggap sebagai kewajiban pribadi atau keluarga, kegiatan ini sebenarnya memiliki peran sentral dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi sebuah negara.
Ironisnya, kontribusi besar dari pekerjaan perawatan ini tidak tercermin dalam indikator ekonomi konvensional seperti Produk Domestik Bruto (PDB).
PDB hanya menghitung kegiatan ekonomi yang menghasilkan transaksi moneter, sementara jutaan jam kerja tak dibayar yang dilakukan terutama oleh perempuan setiap harinya justru terabaikan.
Akibatnya, nilai ekonomi yang dihasilkan dari pekerjaan perawatan menjadi tak terlihat dan seringkali diremehkan dalam kebijakan publik.
Data dari UN Women menunjukkan bahwa secara global, perempuan melakukan pekerjaan perawatan tak dibayar tiga kali lebih banyak dibanding laki-laki.
Ketimpangan ini menyebabkan perempuan memiliki waktu lebih sedikit untuk bekerja di sektor formal, mengakses pendidikan lanjutan, atau berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik dan ekonomi.
Pekerjaan perawatan tak dibayar menjadi penghalang nyata bagi pencapaian kesetaraan gender dan kemandirian ekonomi perempuan.
Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Waktu Use 2020 menunjukkan bahwa perempuan menghabiskan rata-rata 5 jam lebih per hari untuk kegiatan perawatan dan domestik tak dibayar, sementara laki-laki hanya 1,5 jam.
Angka ini mencerminkan beban ganda yang ditanggung oleh perempuan, terutama di kalangan masyarakat berpendapatan rendah di mana layanan perawatan formal nyaris tidak tersedia.
Salah satu dampak dari tidak diakuinya pekerjaan perawatan tak dibayar adalah absennya perlindungan sosial bagi pelakunya.
Karena tidak terlibat dalam pekerjaan berupah, banyak perempuan tidak memiliki jaminan pensiun, akses ke asuransi kesehatan, atau tunjangan kerja. Kondisi ini memperbesar risiko kerentanan ekonomi terutama di masa tua, ketika beban perawatan justru semakin berat.
Pemerintah dan pembuat kebijakan seringkali mengabaikan pentingnya mendukung sistem perawatan publik yang memadai, seperti layanan penitipan anak, panti lansia yang terjangkau, dan kebijakan cuti yang inklusif.
Padahal, investasi dalam sektor perawatan tidak hanya meringankan beban individu, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Pengakuan terhadap pekerjaan perawatan tak dibayar dapat dimulai dengan memasukkannya ke dalam pengukuran ekonomi nasional melalui pendekatan satelit akuntansi rumah tangga.
Selain itu, edukasi publik dan kampanye perubahan budaya dibutuhkan untuk mendorong pembagian kerja perawatan yang lebih setara antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga.
Beberapa negara telah mulai mengambil langkah progresif. Misalnya, Australia dan Selandia Baru telah mengembangkan sistem akuntansi satelit untuk mengukur nilai ekonomi pekerjaan perawatan tak dibayar.
Langkah ini penting sebagai dasar perumusan kebijakan sosial dan ekonomi yang lebih responsif terhadap realitas kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sudah saatnya kita menggeser cara pandang terhadap pekerjaan perawatan tak dibayar. Ia bukan sekadar bentuk pengabdian pribadi, melainkan bagian vital dari infrastruktur sosial dan ekonomi kita. Memberikan pengakuan, dukungan, dan perlindungan terhadap pekerjaan ini adalah langkah awal menuju masyarakat yang lebih adil, setara, dan sejahtera.