Oleh: Amato Assagaf
Bagaimana politik menjadi puisi yang buruk? Ada setidaknya dua cara bagi kita untuk melihat politik sebagai puisi. Pertama, dengan menangkap daya kreasi di dalam politik sebagai proses. Kedua, dengan memasuki ruang kebenaran dalam politik sebagai hasil.
Pada yang pertama, politik hadir sebagai imajinasi bagi persoalan bersama. Dengan imajinasi politik itu, kita membentuk “ruang” bagi “kebenaran” yang akan diciptakan (baca: diputuskan). Sedangkan upaya kedua hanya bisa dilakukan dengan mengembalikan politik pada ontologi; pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk menguji keabsahan putusan-putusan politik. Jawaban dan ikhtiar bagi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadi “kebenaran” politik.
Tanpa kedua hal ini – daya kreasi dan ruang kebenaran –politik bukan politik karena ia tidak menjadi puisi. Tapi meski dengan kedua hal ini, politik tidak lantas akan menjadi baik. Ia menjadi puisi tapi tetap saja bisa buruk, bahkan sangat buruk. Kedua hal ini hanyalah kondisi bagi politik untuk hadir dengan, katakanlah, nilai puitisnya sendiri.
Artinya, keberadaan kedua hal ini dalam suatu bentuk, struktur, sistem, institusi, agensi, aksi, kebijakan politik, dan seterusnya, tidak dengan sendirinya membuat politik, yang terlaksana, menjadi baik dan benar. Politik yang didorong oleh daya kreasi negatif, misalnya, hanya akan menciptakan ruang kebenaran yang hampa. Kita melihat bahwa “ruang” itu ada tapi kita tidak akan bisa melihat “kebenaran” di dalamnya.
Kebenaran politik membedakan politik dengan tipu-tipu. Tapi, sebagaimana setiap bidang kehidupan lainnya, politik tidak memproduksi kebenaran. Ia hanya memainkan perannya dalam arus besar kehidupan untuk menciptakan “ruang” bagi kebenaran yang hanya bisa diproduksi oleh kehidupan. Daya kreasi politik yang bersifat negatif akan mematikan daya hidup, melumpuhkan kemampuan hidup untuk, di antaranya, memproduksi kebenaran.
Akibatnya, politik yang membunuh hidup itu tidak akan memiliki kebenaran di dalam ruang kebenaran politiknya. Dalam kasus ini, kebenaran yang ada dalam ruang politik itu atau, sederhananya, dalam keputusan-keputusan politik yang diambil, tidak akan mewakili kebenaran politik yang sesungguhnya, yakni kebenaran bersama.
Secara khas, “ruang” bagi kebenaran politik adalah ruang publik. Dengan begitu, politik hanya bisa dijalankan sebagai bagian dari kehidupan bersama. Daya kreasi politik, dalam konteks ini, pertama harus menangguk energinya dari daya hidup bersama dan, selanjutnya, digunakan untuk menjaga daya hidup bersama itu.
Beberapa pihak akan menganggap model ini sebagai ilusi mengenai politik yang baik dan benar yang, menurut mereka, tidak pernah ada dalam kenyataan. Keliru. Politik, pada kenyataannya, selalu berlaku dalam cara ini. Selalu ada “daya kreasi” yang dibutuhkan untuk menjalani proses politik dan selalu ada penciptaan “ruang kebenaran” dalam keputusan-keputusan politik yang diambil. Persoalan bahwa daya kreasi itu berlaku jauh dari kreativitas dan kebenaran dalam ruang politik itu ternyata palsu, adalah persoalan lain lagi.
Kegagalan para politisi untuk memanfaatkan daya kreasi dan mengisi ruang kebenaran sama dengan kegagalan seorang penyair menciptakan puisi yang baik. Lepas dari itu, keduanya akan menjalani ritual yang sama, tidak bisa tidak. Menyimpang dari salah satu, atau kedua ritual itu, adalah menyimpang dari politik – dalam kasus para politisi, dan menyimpang dari puisi – dalam kasus para penyair. Dalam keadaan itu, sang politisi tidak sedang berpolitik tapi, mungkin, sedang berak dan sang penyair tidak sedang berpuisi tapi sedang bersendawa.
Pemerintahan diktatorial adalah contoh di mana kehidupan bersama tidak lagi memiliki politik di dalamnya. Apa yang berlangsung dalam skema kediktatoran bukanlah proses dan hasil politik karena di dalam skema itu tidak ada lagi proses politik di mana daya kreasi politik telah dilumpuhkan secara total dan tidak ada lagi keputusan politik karena ruang kebenaran politik telah sepenuhnya ditutup.
Di dalam pemerintahan demokratis, politik jelas ada meski itu tidak berarti ia pasti berlaku dalam cara yang baik dan benar. Ketika Anda berkampanye selaku calon walikota, Anda memanfaatkan daya kreasi politik Anda. Menciptakan ruang-ruang bagi kebenaran politik dan, gagal atau berhasil menjadi walikota, Anda membuat keputusan-keputusan yang selalu melibatkan publik sebagai validator keberlangsungan politik Anda.
pakah politik Anda kemudian menjadi puisi (baca: politik) yang baik atau buruk, itu akan dinilai berdasarkan daya kreasi Anda menciptakan ruang kebenaran dan mengisinya dengan kebenaran-kebenaran. Jika daya kreasi Anda datang lewat imajinasi politik yang lemah, ruang bagi kebenaran politik Anda, misalnya, akan menjadi terlalu sempit untuk diisi oleh kebenaran-kebenaran bersama.
Atau, bisa saja, Anda mampu menciptakan ruang kebenaran politik yang sangat luas tapi hanya terisi dengan kebenaran-kebenaran palsu yang diproduksi oleh Anda atau kelompok Anda sendiri, bukan oleh res publica. Sulawesi Utara dengan Olly dan Manado dengan Vicky sedang berada dalam tegangan yang sama. Sejauh yang bisa kita lihat, puisi keduanya belum bisa dibilang baik jika tidak mau dibilang buruk.
Persoalannya mungkin tidak sederhana, tapi logika bagi ritual berpolitik, seperti yang sudah dikemukakan di atas, sesungguhnya cukup sederhana. Apakah kedua pemimpin kita itu punya daya kreasi yang menangguk imajinasinya dari daya hidup masyarakatnya dan apakah keduanya punya ruang kebenaran politik yang mampu menampung kebenaran-kebenaran res publica?
Sejauh yang bisa kita lihat hingga saat ini, puisi terbaik Olly adalah keramaian tanpa bentuk dan puisi terbaik Vicky adalah sebentuk kesenyapan. Persoalannya, saya kira, bahkan pembaca puisi sebaik Aldes Sambalao tidak akan bisa membacakan puisi-puisi itu dengan benar.
Dan begitulah kita melihat bagaimana politik menjadi puisi yang buruk.
Manado, Juli 2017
Amato Assagaf Penulis adalah penulis tamu tetap di ZonaUtara.com. Dia merupakan penyair, dramawan, pemikir dan penulis buku filsafat. Tinggal di Manado.
Silahkan baca juga tulisan lain dari Amato