BIMA, ZONAUTARA.com – Kantuk tak bisa tertahan, dan saya menahan malu. Walau tak mendengarnya, saya yakin beberapa penumpang yang melihat kepala saya terbanting sana-sini pasti tertawa. Keinginan tidur sirna, saat kondektur kembali dengan teriakan-teriakannya.
Satu persatu penumpang turun. Saya tak perlu mengingat kampung mana yang disinggahi. Baru saja ingin mengecek posisi di Google Map, kondektur malah berteriak, “perhentian terakhir Bima”. Bus Langsung Indah yang saya tumpangi, rutenya berakhir di Terminal Dara, Bima. Arloji menunjukkan pukul 03.40 WITA.
Sama halnya di setiap terminal, kala bus datang, tukang ojek berebutan menawarkan jasa. Walau tujuan saya sudah pasti ke Pelabuhan Sape, saya menjawab sekenanya, “belum pak, belum tahu mau ke mana”. Saya memilih istirahat sejenak dulu di ruang tunggu terminal, yang lagi-lagi toiletnya kotor dan bau.
Bapak muda yang sedang menunggu jemputan menjadi teman ngobrol. Seorang anak muda juga yang akan berangkat ke Makassar ikut nimbrung. Dia orang Bima, berkuliah di Makassar. Sebentar dia akan naik kapal Pelni. Dari mereka saya tahu, ada bus yang berukuran lebih kecil yang akan ke Pelabuhan Sape.
Baca: Catatan perjalanan Labuan Bajo (1): Bus executive dijejali daun bawang
Ternyata, masing-masing perusahaan bus sudah punya langganan sendiri bagi penumpangnya. Karena saya tadi naik bus Langsung Indah, saya harus melanjutkan perjalanan dengan bus kecil mitra mereka. Saya lupa mencatat namanya, yang saya ingat tulisan di badan busnya, “pria romantis”.
Bus kecil ini bergerak pukul 04.30. Tak ber-ac, dan pintunya tak ditutup. Barang penumpang ditumpuk di bagian atapnya, dan sebagian diletakkan di sela-sela kaki penumpang. Semburat matahari mulai menyergap langit, dan saya gelisah. Tak ada ruang bagus untuk memotret, saya tak duduk di dekat jendela. Jadinya saya mencuri-curi bidikan.
Garam jatuh harga
Jalanan menuju Sape lebih bervariasi. Berkelok dan menanjak. Di beberapa tanjakan saya meragukan bus kecil ini mampu menaklukannya. Namun sopir paruh baya dengan rambut keemasannya itu terlihat tenang, padahal raungan suara busnya tak bisa menyembunyikan usia tua bus kecil ini.
Saat matahari benar-benar mengecat langit dengan warna sunrisenya, saya benar-benar gelisah. Pantat saya ke sana- kemari, meski saya tak bisa menghasilkan foto yang baik dari bus yang melaju dan oleng ke kiri-ke kanan.
Gerbang ucapan selamat datang memberi tanda bahwa kami telah tiba di Sape. Kini langit membiru dan semburat rona yang memerah menyapu perbukitan. Tanah-tanah garapan yang kerontang begitu kontras, mencipta komposisi warna yang sempurna untuk sebuah foto. Lagi-lagi tangan saya semakin gatal.
Baca juga: Catatan perjalanan Labuan Bajo (2): Terbirit-birit di rumah makan yang tak enak
Lalu tetiba pemandangan yang tidak bisa menahan keinginan saya memotret terpampang di depan mata. Tambak garam dengan background langit biru. Saya ingin meminta sopir berhenti sejenak, tapi plang nama Pelabuhan Sape sudah terlihat di depan. Bus berhenti di depan terminal tunggu, ongkosnya Rp 30.000.
Loket penjualan tiket kapal feri masih tutup. Usai dari toilet, saya meninggalkan tas di bangku ruang tunggu. Saya tidak ingin menyia-nyiakan pemandangan yang baru saja saya liat tadi. Waktu menunjukkan pukul 06.15, kapal nanti berangkat pukul 09.00, loket nanti buka sejam sebelumnya.
Seketika saya mencari ojek dan meminta kembali ke tambak garam. Sesudahnya saya bergembira dengan langit biru. Sebagai fotografer penyuka lansekap, yang memuja birunya langit. Shutter terus saya hamburkan, ada dokar yang ditarik kuda, motor-motor lalu-lalang, anak sekolah bersemangat. Mereka menjadi pengisi foto tambak garam pagi tadi.
Puas memotret, saya menghampiri ibu yang menunggui gubuk di tambak itu. Dia ternyata petambaknya. Walau bahasa Indonesianya tak lancar, saya menangkap keluhannya soal harga garam yang lagi jatuh. Sekarung hanya Rp. 50 ribu, padahal butuh seminggu untuk memanen garam dari sejak air laut dipompa ke bedeng-bedeng tambak.
Keindahan langit biru masih terus berlanjut saat saya beringsut kembali ke pelabuhan. Teluk kecil di Sape menyajikan lansekap khas warga pesisir. Ada perahu, kapal, nelayan, orang lalu lalang, dan aktivitas pelabuhan. Saya terus memotret bahkan hingga kapal KM Cakala II telah bertolak ke pelabuhan Labuan Bajo.
Kapal meninggalkan dermaga pada pukul 09.45 WITA, dan akan menempuh perjalanan selama kurang lebih 7 hingga 8 jam. Lautan sangat teduh, kapal tak ada goyang sekecil apapun. Dan saya terus memotret sepanjang perjalanan itu, sambil menghimpun cerita dari penumpang kapal lainnya.
Beragam orang saya jumpai, ada sopir truk dari Banyuwangi, pedagang dari Mataram, warga Bima, bahkan beberapa backpacker dan turis asing yang penasaran dengan Labuan Bajo.
Bersambung . . .