ZONAUTARA.com – Ini untuk kedua kalinya saya mendatangi Nusa Tenggara. Kunjungan pertama saat nekat menyeberang dari Padangbai di Bali ke Lembar di Lombok, dua tahun lalu. Sejak saat itu mengexplore Nusa Tenggara masuk dalam daftar destinasi yang harus saya kunjungi kembali.
Jadi ketika ada kesempatan kedua kalinya mengunjungi Mataram, saya tidak menyia-nyiakan waktu untuk berjalan lebih jauh. Tujuan utamanya adalah Labuan Bajo. Saya sengaja memilih jalur darat dari Mataram ke Labuan Bajo. Selain bisa berhemat, tujuan lainnya adalah menikmati perjalanan.
Dan benar saja, walau sebagian perjalanan dari Pelabuhan Kayangan di Lombok, hingga ke Pelabuhan Sape di Bima dilakukan sepanjang malam, tapi eksotisme Nusa Tenggara begitu terasa.
Kapal yang bertolak pagi itu dari Pelabuhan Sape mampu membuat saya tidak bisa duduk tenang. Saya masuk ke ruang VIP KM Feri Cakalang II. Tak perlu membayar lebih untuk masuk ke ruangan ini. “Masuk saja, tidak ada bayaran lagi”, ujar petugas kapal menjawab rasa penasaran saya.
KM Cakalang II, salah satu dari kapal feri yang dioperasikan untuk melayani rute Sape di Bima Nusa Tenggara Barat ke Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur. Untuk penumpang, harga tiket penyeberangan sebesar Rp 60 ribu per orang. Dengan tiket itu, penumpang bebas mau masuk di ruangan mana, kecuali ruangan kamar crew.
Kapal feri yang saya tumpangi cukup bersih. Tempat sampah berada hampir di setiap sudutnya. Toiletnya juga bersih dengan air tawar yang mengalir lancar. Saya sempat mandi saat kapal sudah bergerak.
Sebagaimana sebuah kapal feri, di dek paling bawah, berjejal berbagai jenis kendaraan, terutama truk-truk berukuran besar yang mengangkut muatan banyak. Saya sempat berbincang dengan beberapa sopir.
Cuaca teduh
Perjalanan pada November memberi berkah bagi saya. Lautan yang sangat teduh, tenang dan matahari yang bersinar sepanjang perjalanan. Tentu langit sangat biru. Kamera Fuji XT10 tak pernah lepas dari genggaman saya. Betapa tidak, sepanjang perjalanan Nusa Tenggara menyajikan keindahan yang tak pernah habis.
Kapal-kapal dan perahu-perahu nelayan yang berseliweran dengan latar belakang pulau-pulau menjadi santapan kamera saya setiap saat. Betapa saya menikmati perjalanan ini. Dua kali saya memesan kopi di resto kecil yang terletak di tengah kapal. Dari sesama penyuka kopi ini juga saya mendulang berbagai cerita.
Begitu keluar dari Sape, di sebelah kiri tersaji pulau Sangeang, yang ditengahnya menjulang Gunung Api Sangeang. Ini adalah salah satu gunung berapi yang paling aktif di Kepulauan Sunda Kecil. Kawah Doro Api-nya mencapai ketinggian 1.949 meter. Sangeang punya dua kawah, yang satunya lagi Doro Mantoi.
Seorang bapak asal Bima dengan senang hati menutur kepada saya, ikhwal Sangeang yang dianggap unik oleh penduduk setempat. Dia bercerita bagaimana penduduk di Sangeang tidak takut sama sekali dengan aktivitas vulkanik Sangeang.
Sangeang pertama kali meletus pada tahun 1512 dan terakhir letusan besarnya tercatat pada Mei 2014. Penduduk di pulau itu dievakuasi, dan letusannya berpengaruh hingga ke penerbangan di Australia.
Haluan KM Cakalang II mengarah ke Timur. Sangeang di sebelah kiri dan di kanan kapal tersaji pulau Banta. Lepas dari pulau Banta, haluan kapal bergeser beberapa derajat ke arah kanan. Dan nampak di kejauhan pulau Komodo yang terkenal itu.
Saya bergembira dengan semua yang tersaji, dan tak berhenti bertanya kepada siapa saja yang berdiri di pinggir kapal. Beberapa penumpang ternyata juga pejalan yang penasaran dengan Labuan Bajo. Semuanya setuju jika negeri ini sungguh memesona.
Memasuki wilayah perairan Nusa Tenggara Timur, pulau-pulau nampak berserak di sana-sini. Beberapa bahkan hanya sekedar seonggok batu yang menyembul dari kedalaman lautan. Warnanya begitu kontras dengan biru tua laut, biru muda langit, putihnya awan. Pulau-pulau itu berwarna coklet karena rumput hijaunya kering akibat kemarau panjang.
Lepas dari Pulau Komodo, haluan kapal seperti harus membelah serakan pulau-pulau kecil yang terhambur di tengah laut. Saya bergumam dalam hati, “Tuhan sedang bergembira saat mencipta Nusa Tenggara”.
Mendekati pelabuhan Labuan Bajo, saya lebih bersemangat memotret, dan nyaris melupakan tas cariel saya yang hanya saya letakkan begitu saja di atas kursi di ruang VIP. Decak kagum menyaksikan ribuan perahu, kapal motor, kapal pesiar, speed boat dan berbagai jenis transportasi lautnya tak henti keluar dari dalam hati.
Di kejauhan nampak Labuan Bajo. Beberapa hotel dengan bangunan yang besar sudah terlihat. Salah satunya Hotel Ayana yang terkenal itu. Labuan Bajo punya banyak sekali alternatif penginapan. Kapal feri yang saya tumpangi harus mengurangi kecepatannya. Perairan Labuan Bajo begitu sibuk.
Tentu pemandangan itu tak bisa disia-siakan. Saya terus memotret dan menikmati tuturan beberapa orang, yang tampaknya berasal dari Flores, yang dengan senang hati membanggakan negeri mereka.
Iya, negeri kalian sungguh indah. Saya tak sabar menjejakinya. Tapi yang terpenting saat ini, saya harus memilih hotel. Jadi saat kapal sudah sandar di Pelabuhan Labuan Bajo pada pukul 16.50 WITA, saya kembali ke ruag VIP dan membuka aplikasi pemesanan hotel Traveloka. Pilihan saya jatuh ke De Chocolate Hotel, dengan tarif Rp 300 ribuan per malam.
Bersambung . . .
Baca tulisan sebelumnya