Jakarta, ZONAUTARA.com – Pandemi covid-19 tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi dan kesehatan, tetapi berdampak juga ke aspek lingkungan. Dampak positifnya, penggunaan bahan bakar fosil menurun dan gumpalan asap pabrik berkurang, sehingga kualitas udara meningkat.
Meski demikian, limbah medis dan sampah plastik semakin meningkat. Dari sisi transportasi, masyarakat kembali beralih menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi publik.
Menurut Manajer Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon, Egi Suarga pandemi memang menurunkan emisi karbon. Hanya saja tantangannya, pasca pandemi diperkirakan emisi karbon bisa melonjak. Menilik pasca krisis 2008, kata Egi, emisi karbon meningkat hingga 5,9% secara global di 2010.
“Ini yang menjadi perhatian kita semua, pada saat nanti kita masuk pada tahap recovery. Jangan sampai kita nanti mengalami peningkatan emisi yang signifikan pasca pandemi,” ujarnya dalam acara virtual Workshop Uurnalis bertajuk Build Back Better, yang diselenggarakan Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan WRI Indonesia, 8 Oktober 2020.
Dalam kegiatan yang diikuti puluhan jurnalis se-Indonesia tersebut, Egi juga menjelaskan bahwa alokasi stimulis untuk penanganan dan pemulihan pasca pandemi secara global mencapai USD10 triliun.
“Jauh lebih besar dibandingkan krisis di 2008,” katanya.
Di Indonesia sendiri, pemerintah menganggarkan sekitar Rp700 triliun. Persoalannya, stimulus pemulihan pasca pandemi yang diberikan, tidak mempertimbangkan aspek lingkungan.
“Stimulus kita masih sangat brown,” katanya.
Egi mencatat, berdasarkan indeks green stimulus, pertimbangan aspek lingkungan dalam penetapan fiskal pemulihan pasca pandemi di Indonesia, masih sangat buruk.
“Alokasi stimulus kita, tidak mempertimbangkan indikator aspek-aspek dari sisi lingkungannya,” ujarnya..
Menurut Egi, seharusnya Pemerintah melakukan strategi pembangunan, build back better pasca pandemi. Yaitu, dengan pemulihan pembangunan pasca pandemi berdasarkan pendekatan lingkungan.
“Kita harus me-reset model pembangunan kita dan membangun untuk pulih ke arah yang lebih baik,” katanya.
Setelah pandemi ini, kata Egi, banyak negara melakukan pemulihan secara build back beter. Fokusnya pada kesejahteraan, inklusifitas dan kemanusiaan. Menurutnya, ada 4 prinsip yang perlu didorong untuk melakukan build back better pasca pendemi.
Pertama, build fairer atau pembangunan secara lebih adil. Menurutnya prinsip ini dapat menurunkan tingkat kemiskinan.
“Memberikan kesempatan kepada kaum perempuan, masyarakat adat, untuk memperoleh akses yang sama,” katanya.
Kedua, prinsip build stronger, yaitu membangun dengan lebih kuat. Menurutnya, pembangunan ke depan perlu diarahkan ke pembangunan rendah karbon yang menciptakan ekonomi kuat, peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan.
“Berbagai riset mengatakan, ketika kita pulih atau bertransisi ke pembangunan rendah karbon, dengan misalnya menggunakan energi baru terbarukan, itu menghasilkan tambahan pekerjaan yang siginifikan,” ujarnya.
Ketiga yaitu prinsip Build Safer. Menurutnya, dengan beralih ke rendah karbon, dapat memberikan dampak kesehatan yang jauh lebih baik. Menurut Egi, angka kematian terkait polusi cukup tinggi.
“Ketika kita melakukan recovery ke depan harus tetap mempertimbangkan aspek kebersihan udara. Agar kita lebih sehat dan produktif,” ujarnya.
Terakhir, Build cleaner, yaitu pembangunan rendah karbon untuk mendorong ekonomi. Menurut Egi, pihaknya pernah mensimulasikan pertumbuhan ekonomi dan rendah karbon. Hasilnya, ketika investasi dan bisnis menggunakan pendekatan rendah karbon, bisa meningkatkan pendapatan bruto domestik (PDB).
“Secara signifikan,” katanya.
(*)