LABUAN BAJO, ZONAUTARA.com – Saya bangun agak telat. Niatnya ingin mengejar sunrise, namun mesin pendingin udara di kamar lantai 2 Hotel De Chocolate tempat saya menginap mampu membuat saya lelap.
Memotret kehidupan pagi di Pelabuhan Labuan Bajo jadi pilihan mengisi pagi. Pagi benar saya tiba, bahkan palang pintu ke dermaga kapal feri belum dibuka. Saya menerobos untuk mendapatkan komposisi di samping kapal. Sebelah kiri dermaga feri, ada dermaga lebih besar. Pagi itu sebuah kapal Pelni kebetulan merapat. Saya mendapat komposisi yang menarik.
Usai berpuas dengan menikmati ratusan perahu dan kapal dari berbagai jenis yang terserak di perairan depan pelabuhan, saya menelusuri jalan Soekarno Hatta. Dan menemukan cafe kecil yang hanya punya dua bangku dan satu meja. Moku Cafe namanya.
Moku artinya pisang dalam bahasa lokal. Dan cake pisang yang dihiasi kacang mete menemani sarapan saya pagi itu bersama secangkir kopi flores. Nikmat.
Sesaat kemudian Boe datang. Iya ikut ngopi, dan kami membahas apa saja yang bisa dikunjungi di Labuan Bajo, selain trip ke laut. Dia meminjamkan sepeda motornya, saya memberi dia biaya sewa. Walau saya seorang pejalan yang pas-pasan, tapi harus menghargai orang yang menggantungkan hidup dari industri pariwisata.
Boe mendetilkan beberapa destinasi yang patut didatangi, saya memilih dua saja. Selain karena cuaca sedang terik-teriknya, besok saya telah setuju ikut one day trip ke beberapa pulau. Harus menghemat tenaga.
Batu Cermin
Dengan mengandalkan petunjuk Google Map, saya memacu sepeda motor pinjaman menuju Batu Cermin. Di sana ada sebuah gua yang patut dikunjungi. Sempat tersesat, saya kemudian tiba di Batu Cermin.
Lokasi wisata ini sudah ditata dengan baik. Tersedia area parkir yang cukup luas. Saya membayar tiket masuk di loket seharga Rp 100.000, dan menuliskan nama di buku tamu. Harga tiket masuk ke Gua Batu Cermin berdasarkan jumlah orang, karena sudah termasuk jasa pemandu. Untuk jumlah rombongan 5-6 orang atau dibawah dari jumlah itu, harganya Rp 100.000. Untuk rombongan 7-11 orang harganya Rp 150 ribu.
Setelahnya seorang bapak menghampiri. Dia memperkenalkan diri sebagai Beni Maksimus Jemadu (42). Beni menjadi pemandu saya pagi itu. Pagi yang terik dengan warna langit yang biru. Udaranya terasa sangat gerah. Beni kemudian meraih helm dan senter, yang wajib dibawa saat masuk gua.
Kami kemudian menelusuri jalan masuk yang sudah berpaving. Beni bilang, jika beruntung akan bertemu dengan beberapa jenis hewan, seperti ular, kadal, bahkan monyet. Tapi sampai saya pulang tidak satupun dari hewan itu yang saya lihat.
Lokasi menuju Gua ditumbuhi bambu khas Flores. Bambu toe namanya. Nama yang mewakili kuatnya bambu itu. Daunnya nyaris tak ada, dan Beni meyakinkan saya bahwa bambu itu masih hidup, dan sengaja menggugurkan daunnya sebagai siasat bertahan di kemarau yang panjang.
Kami sempat mampir di batu payung. Bentuk bangunan batu yang tersusun secara misteri. Tumpukan-tumpukan batu membangun komposisi menara, dan di atasnya batu besar yang datar dan melebar bertengger seimbang, layaknya kanopi payung.
“Itu tidak pernah bergeser, bahkan sewaktu gempa kuat terjadi,” jelas Beni.
Saya memotret beberapa kali, lalu melanjutkan perjalanan. Mulut gua menyambut kami, dan Beni meminta saya berhenti. Dia lalu memberi penjelasan singkat soal Gua Batu Cermin.
Nama Theodore Verhoven terus disebut Beni. Ini adalah seorang pastor dan juga arkeolog yang menemukan keberadaan gua ini pada tahun 1951. Gua yang cukup indah dengan hiasan stalagnit dan stalagmit ini punya luas 19 hektar. Pintu masuknya berupa terowongan yang menganga di antara batu raksasa yang menjulang setinggi 75 meter. Ruang-ruang kosong menjadi labirin yang kami telusuri.
Saya diwajibkan menggunakan helm, karena di beberapa terowongan ukurannya cukup sempit dan harus membungkukan badan nyaris merangkak. Jika sepanjang jalan tadi udara terasa begitu panas, jauh berbeda saat saya mulai menaiki tangga yang sengaja dibuat. Udaranya terasa sejuk dan semakin dingin saat Beni menuntun saya lebih ke dalam.
Beni adalah warga desa yang diberdayakan oleh Dinas Pariwisata Manggarai Barat sebagai pemandu. Beni menjelaskan, lokasi wisata Gua Batu Cermin juga sebagian dibiayai dari dana desa. Sehingga hasil pendapatan dari tiket masuk sebagian mengalir ke kas desa.
Jejak Arkeologi
Dengan senter di tangannya dan hafalan akan sejarah gua, Beni sering menginterupsi aktivitas saya memotret. Dia ingin saya benar-benar memahami jejak-jejak arkeologi yang ditemukan Verhoven. Berkali-kali nama itu dipuja Beni dalam tuturannya.
Di dinding gua memang terdapat beberapa fosil makhluk laut, seperti kerang, kura-kura dan koral. Keberadaan fosil-fosil laut itu membuat Verhoven menyetujui teori bahwa jutaan tahun lalu, Pulau Flores termasuk Labuan Bajo berada di dasar laut. Sebuah peristiwa gempa besar membuat permukaan laut surut dan Pulau Flores terangkat ke atas menjadi daratan.
Jejak arkeolog pada fosil itu juga mengandung garam yang mengkristal. Kristal-kristal garam itu jika terkena cahaya akan berpendar dan menimbulkan sinar serupa bintang. Beni terus menuntun saya melewati beberapa terowongan dan menjumpai sebuah hall berukuran besar. Kami bisa berdiri dengan leluasa. Saya terhenti sejenak dan mengaguminya.
Setelahnya Beni menjelaskan berbagai bentuk stalagnit dan stlagmit yang menggantung dari atas gua dan dan keluar dari permukaan gua. Akar pohon beringin yang tumbuh di atas batu di luar menembus ke dalam gua, menjadi pemandangan yang menakjubkan.
Lalu tibalah kami pada bagian yang salah satu dindingnya berlubang. Berkas sinar matahari masuk lewat lubang itu dan menjadi penerang di dinding-dinding gua. Cahayanya temaram dan menyejukkan. Dingin dan berwarna kebiruan.
Boe sudah mengingatkan saya sejak awal, sebaiknya persiskan waktu di ruang itu pada pukul 11 siang hingga pukul 13 siang. Karena pada posisi itu, sudut sinar matahari yang datang akan sangat bagus dipotret. Tapi saya datang terlalu pagi, dan tidak mendapati foto seperti yang diinginkan.
Di ruang yang paling dalam ini, jika hujan air akan tergenang membentuk kolam kecil. Saat Verhoven menemukan pertama kali gua ini, air itu terkena sinar matahari.
“Dia melihat wajahnya terpantul dengan jelas pada permukaan air itu, dan Verhoven mengandaikan permukaan air yang jernih itu sebagai cermin,” tutur Beni.
Sejak itu, gua itu diberi nama gua cermin atau dalam bahasa lokal Watu Sermeng. Beni bersemangat menjelaskan bagian ini, dan saya sedikit menyesal tidak mendapati kolam air, karena hujan tak pernah turun dalam beberapa bulan di Labuan Bajo.
Saya tak bisa berlama-lama di dalam gua, karena pengunjung lainnya mengantri untuk masuk. Kami lalu keluar dan saya meminta beberapa kali Beni berdiri masuk dalam frame foto, agar saya bisa menggambarkan skala ukuran gua. Dia senang dan terus berterima kasih. Saya juga gembira mendapati pengalamanan dan pengetahuan baru, hal terindah yang terus didulang dalam perjalanan.
Bersambung . . .
Baca tulisan sebelumnya