Ini adalah bagian keempat dari 11 tulisan catatan perjalanan yang dilakukan Ronny A. Buol ke pedalaman Kalimantan pada 2016 lalu. Bagian sebelumnya dapat dibaca di: Kegundahan dari ladang Meraseh
Jelang tengah hari, speed boat yang dikemudikan Alex Tekwan melewati kampung Long Lunuk. Raungan mesin 400 PK-nya membelah permukaan air Sungai Mahakam sejak dari Tiong Bu’u di Kecamatan Long Apari, wilayah paling hulu di Kabupaten Mahakam Ulu.
Dari Tiong Bu’u speed boat ini mengangkut 10 penumpang, termasuk saya dan beberapa pejalan yang melakukan ekspedisi mendokumentasikan keberadaan perempuan bertelinga panjang. Di Datah Dawai, Kecamatan Long Lunuk, Alex menurunkan satu penumpang, yang akan melanjutkan perjalanan dengan pesawat kecil ke Samarinda.
Tak lama melaju dari Datah Dawai, Alex, yang sudah 8 tahun mengoperasikan speed boat itu tiba-tiba menurunkan kecepatan salah satu transportasi utama di pedalaman ini. Speed boat itu menepi. Ada sekelompok orang yang melambai, jumlah mereka 7 orang.
Mereka terlihat membawa beberapa karung yang terisi penuh dan padat. Beberapa karung lainnya masih terlipat rapih. Wajah mereka tak menyiratkan karakter wajah orang Dayak yang mendominasi pemukiman di tepi Sungai Mahakam.
Saat telah berada di dalam speed boat, ketujuh orang asal Jawa ini menceritakan kalau mereka telah mengelana di dalam hutan selama berbulan-bulan. Tujuan mereka adalah mencari “emas beraroma dari hutan”, kayu gaharu. Hasilnya ada di dalam karung-karung yang mereka bawa itu.
Harga tinggi dari gubal gaharu adalah godaan dahsyat pencari keuntungan menyambangi pedalaman hutan Mahakam Ulu. Penetrasi ekonomi pasar telah merasuk hingga ke kawasaan pedesaan hutan. Gaharu adalah produk hutan yang sangat unik yang terbentuk dari resin kayu genus Aquilaria.
Di Indonesia telah tercatat ada enam jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan gaharu, yaitu A beccariana, A cumingiana, A filaria, A hirta, A malaccensis, dan A microcarpa. Namun, dari enam jenis kayu gaharu tersebut, hanya dua jenis yang utama menghasilkan gubal gaharu, yaitu A malaccensis dan A beccariana.
Mahakam Ulu dikarunia potensi alam yang luar biasa. Gaharu tersedia di hutan kabupaten yang terbentuk melalui UU No 2 tahun 2013 ini. Karena eksploitasi tanpa memperhitungkan daya dukung alam, gaharu kini sudah mulai sulit dicari. Saat ini pencari gaharu butuh usaha ekstra masuk ke hutan yang lebih jauh untuk mendapatkan gubal gaharu kualitas prima.
Kisah para pencari gaharu ini menenami perjalanan yang memacu adrenalin melewati beberapa riam hingga ke Long Bagun. Speed boat milik Alex hanya berhenti di sini. Warga yang ingin melanjutkan perjalanan ke Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur harus pindah transportasi lain.
Kami menyeberang ke sisi lain Sungai Mahakam yang semakin lebar itu, ke Ujoh Bilang, ibukota Kabupaten Mahakam Ulu. Di sana bertukar speed boat yang lebih kecil menuju Tering, Kabupaten Kutai Barat. Dari sana baru akan mencari mobil ke Samarinda.
Menjelang sore, saat speed boat meraungkan mesinnya mengejar waktu, seorang pemuda melambai tangannya di tepi kampung Mentiwa. Dia adalah Bernadus Apa (22), mahasiswa STT Eben Haezar Tanjung Enim di Palembang. Bernadus calon pendeta yang asal Alor, NTT itu sedang menunaikan tugas melayani karyawan di camp milik sebuah perusahan sawit di Mentiwa.
Usaha perkebunan sawit oleh perusahaan-perusahaan besar telah menkonversi beberapa hutan di Mahakam Ulu menjadi lahan untuk ditanami komoditi alam yang rakus air ini. Namun sawit juga menjadi salah satu andalan di Mahakam Ulu.
Mahakam Ulu
Mahakam Ulu punya luas wilah sekitar 15.315 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 27.923 jiwa yang tersebar di 5 wilayah kecamatan dan 49 kampung. Kelima kecamatan itu yakni Long Apari, Long Pahangai, Long Bagun, Laham, dan Long Hubung.
Mahakam Ulu punya karakteristik unik sesuai dengan sumber daya manusia dan alam yang dimilikinya. Warga Mahakam Ulu mayoritas adalah masyarakat tradisional berbagai jenis Suku Dayak diantaranya Busang, Kenyah, Kayaan, Bahau, Penihing, Aoheng, Modang, Laham, Long Kelat dan lainnya.
Sebagai kabupaten baru, Mahakam Ulu menghadapi berbagai permasalahan seperti terbatasnya fasilitas infrastruktur, transportasi, aliran listrik, air bersih, akses pelayanan publik, penyediaan lapangan pekerjaan, tata kelola pemerintahan, dan sebagainya.
Salah satu prioritas yang perlu dibangun adalah masalah trasportasi yang bisa menghubungkan antar kampung dengan lebih mudah. Saat ini untuk menuju ke Long Apari di perbatasan dengan Malaysia, tarif speed boat sekali jalan antara Rp 350.000 – Rp 500.00 per orang belum termasuk barang bawaan dalam jumlah yang banyak.
Untuk keperluaan mendadak, speed boat seperti yang dimiliki Alex, tarif carternya antara Rp 12 juta – Rp 22 juta tergantung kondisi permukaan air Sungai Mahakam. Semakin beresiko semakin mahal biayanya.
Sejarah
Mahakam Ulu dari sisi konstruksi sosial memiliki akar sejarah panjang. Wilayah ini muncul pertama kali dalam kaitan penataan wilayah administratif oleh Hindia Belanda terhadap Kesultanan Kutai, menyusul berlakunya Decentralisatie Wet 1903.
Pada tahun 1905 di Kesultanan Kutai dibentuk dua wilayah administratif yaitu Hulu Mahakam dengan pusat pemerintahan di Long Iram, dan daerah Vierkante Pall dengan pusat pemerintahan di Samarinda.
Tahun 1930, wilayah Kesultanan Kutai dipecah lagi menjadi 4 Onderafdeeling, yakni Zuid Kutai berkedudukan di Balikpapan, Oost Kutai berkedudukan di Samarinda, West Kutai berkedudukan di Tenggarong dan Boven Mahakam berkedudukan di Long Iram.
Pada era kemerdekaan pada tahun 1946, wilayah Kesultanan Kutai dibagi dalam 2 Kepatihan yaitu Kutai Barat dan Kutai Tengah. Saat berlaku UU 27/1959, Kutai ditata ke dalam 3 Dati II, yakni Kotapraja Balikpapan, Dati II Kutai, dan Kotapraja Samarinda.
Menuju pada era reformasi, saat berlaku UU 22/1999, kabupaten Dati II Kutai Kartanegara dimekarkan jadi 4 wilayah administratif yaitu kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Kota Bontang.
Wilayah eks-Onderafdeeling Boven Mahakam menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Kutai Barat. Wilayah eks-Onderafdeeling Boven Mahakam yang sempat terbagi dalam 2 kecamatan, yaitu Long Iram dan Long Pahangai, belakangan dimekarkan menjadi 7 kecamatan yaitu Long Hubung, Laham, Long Bagun, Long Pahangai dan Long Apari, yang kini menjadi wilayah administrasi Kabupaten Mahakam Ulu.
Geografis
Wilayah Mahakam Ulu sebelah Utara berbatasan dengan negara Malaysia dan Kabupaten Malinau, di Timur berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kertanegara, di Selatan dengan Kabupaten Kutai Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah, sementara di Barat berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat.
Wilayah Kabupaten Mahakam Ulu didominasi kontur permukaan yang bergelombang, dari kemiringan landai sampai curam dengan ketinggian berkisar antara 0 – 1.500 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan antara 0 – 60 persen.
Daerah dataran rendah pada umumnya dijumpai di kawasan sepanjang daerah aliran sungai. Sedangkan daerah perbukitan dan pegunungan memiliki ketinggian rata-rata lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan 30 persen terdapat di bagian barat laut yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia.
Karet, Kakao, Kelapa dan Sawit adalah komoditi utama di Mahakam Ulu. Selain itu, produk hutan berupa kayu dan gaharu juga merupakan andalan kabupaten ini. Di beberapa batang sungai Mahakam, sering pula dijumpai para petambang emas, yang juga menjadi potensi alam di Mahakam Ulu.
Pemerintah Mahakam Ulu juga kini mencoba mengembangkan potensi kepariwisataan yang dimilikinya. Keunikan alam yang ada di Mahakam Ulu, jalur petualangan serta kekayaan kebudayaan merupakan kekuatan utama pengembangan pariwisata Mahakam Ulu.
Keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Mahakam Ulu, serta batuan karst yang membentuk ekosistem karst yang unik adalah potensi yang tidak dijumpai di kabupaten lain.
Bersambung.
Baca pula:
Bagian I: Bertaruh Nyawa Menuju Kampung
Bagian II: Bergantung Pada Ces
Bagian III: Kegundahan Dari Ladang Meraseh