Ini adalah bagian kedelapan dari 11 tulisan catatan perjalanan yang dilakukan Ronny A. Buol ke pedalaman Kalimantan pada 2016 lalu. Bagian sebelumnya dapat dibaca di: Tato Perempuan Dayak: Simbol yang harus dibawa mati
Kabut masih enggan beranjak dari Diang Karing dan Diang Musing. Keduanya adalah sebutan lokal bagi dinding batu karst yang seolah menjadi benteng kampung Tiong Ohang, Kecamatan Long Apari. Namun, geliat warga di tepi sungai Mahakam pagi itu mampu menyiratkan semangat.
Mahakam adalah urat nadi bagi sebagian besar suku Dayak yang tinggal di sepanjang alirannya. Sama halnya dengan hutan, sungai adalah pemberian pemilik semesta yang harus dihormati. Tak heran, sepagi itu rutinitas harian diawali dengan berbagai ritual di sungai.
Akses yang sulit dari Samarinda, Ibukota Provinsi Kalimatan Timur bahkan dari Ujoh Bilang, pusat pemerintahan Kabupaten Mahakam Ulu seolah membuat kecamatan ini terisolasi. Namun kebijakan pembangunan bagi wilayah perbatasan telah mampu menghadirkan berbagai fasilitas umum di Long Apari yang berbatasan dengan Malaysia ini.
Walau berada di jantung hutan Kalimantan dan susah dijangkau, keramahan warga adalah sebuah sapaan yang menghangatkan. Jauh dari cerita-cerita okultis tentang suku Dayak yang banyak beredar.
“Stigma soal orang Dayak yang menakutkan sirna saat kami diperlakukan dengan penuh rasa persahatan,” ujar Ria Aziz Bazoeki, traveller wanita yang datang menyambangi Long Apari.
Saat tiupan angin mulai menghalau kabut di Diang Karing dan Diang Musing, dan berganti dengan semburat merona kala mentari terbit. Saat itu pula kehidupan lain terjadi di jembatan gantung yang menghubungkan Tiong Ohang dengan Tiong Bu’u.
Jembatan yang bergoyang jika dilewati ini, seolah menjadi penyaksi semangat bocah-bocah yang tadinya mandi di sungai, untuk bergegas pergi ke sekolah mereka. Kini pendidikan bagi orang Dayak adalah kewajiban yang tak bisa abai.
Di sini, walau berada di pedalaman, pendidikan hingga ke sekolah lanjutan atas telah tersedia. Dan menyaksikan mereka lalu lalang di jembatan gantung itu, adalah sebuah pemandangan yang sulit di dapat di daerah lain di Indonesia. Apalagi latarnya adalah dinding batu karst dengan warna putih yang kontras dengan hutan di sekitarnya.
Menyapa para bocah saat mereka bepergian ke sekolah ini, bagaikan menyampaikan ucapan semangat kepada para pewaris tradisi dan budaya. Betapa tidak, mereka adalah penerus Dayak Aoheng dan Penihing, salah satu sub suku dari ratusan sub suku Dayak yang ada di Kalimantan. Dayak Penihing dengan empat anak sub sukunya mendiami kecamatan Long Apari, termasuk di Tiong Ohang.
Kabut pun lenyap, langit berubah menjadi benderang dengan warnanya yang biru tak berpolusi. Mega tersapu tipis dan seolah membakar semangat penghuni kampung. Semangat yang terjejak pada kisah-kisah heroik para pendahulu Dayak Penihing saat melawan suku lainnya.
Kisah yang tersisa dari tradisi ngayau yang telah sirna. Tradisi mempersembahkan kepala orang lain sebagai bantalan kala seorang dari golongan bangsawan meninggal.
Kisah-kisah yang kini hanya bisa dirasakan lewat motif-motif ukiran yang terserak di berbagai sudut kampung. Mulai dari anak tangga, tiang rumah, atap, terali, patung-patung, dinding kuburan, penutup kepala, tato, tas, gagang mandau, gendongan bayi dan terlebih di lamin adat. Motif ukiran yang menyiratkan penghormatan terhadap alam.
Beberapa motif itu pula terpola pada boning (gendongan bayi), kaban (tempat sirih), bukinlain (ikat kepala) milik Opin Serot. Wanita berusia 75 tahun ini memenuhi lemarinya dengan anyaman manik buatan tangannya sendiri.
Sebuah kebanggaan tersirat saat Opin Serot mengenakan bukinlain dan mengisahkan bagaimana dia terus bertekad mempertahankan cuping kupingnya yang dipanjangkan itu. Walau, dia telah lupa tempat menyimpan hisangnya, namun Opin Serot tak ingin kupingnya dipotong agar kembali normal.
Opin Serot tak sendiri, di Long Apari masih tercatat ada dua lagi perempuan Dayak yang masih mempertahankan kuping panjang mereka, Bulan (70) dengan 20 pasang hisang dan Tukau Daung (70) yang hisangnya sudah dilepas.
Pencarian terhadap perempuan Dayak kuping panjang hingga ke kampung terakhir di Long Apari, cukup mengejutkan. Karena tradisi leluhur yang dulu dianggap agung ini, ternyata kini diambang kepunahan. Tak lebih dari 50 perempuan Dayak kuping panjang terdata di Mahakam Ulu.
Mereka yang tersisa
Ati Bachtiar lewat bukunya “Telinga Panjang, Mengungkap Yang Tersembunyi” mencoba menyajikan data para perempuan Dayak yang kupingnya masih panjang.
Kalau di Long Apari tersisa tiga orang, di Kecamatan Long Pahangai masih di Kabupaten Mahakam Ulu, setidaknya ada 31 perempuan kuping panjang yang terdata.
Mereka adalah:
- Hong Song (90), 19 pasang hisang.
- Hong Bit (80), hisang tak terdata.
- Hanyaq Lun (80), 15 pasang hisang.
- Doq Lun (70), 15 pasang hisang.
- Tukau Leju (70), hisang kiri 15, hisang kanan 18.
- Luaq Buaq (75), 12 pasang hisang.
- Lun Bit (75), 40 pasang hisang.
- Paing Buaq (85), 20 pasang hisang.
- Hiroh Luhat (?), tanpa hisang.
- Dominica Hanyaq Sang (86) hisang kanan 8, hisang kiri 11
- Imuq (90), 16 pasang hisang.
- Hanyang Jaang (70), 10 pasang hisang.
- Ketubung Kueng (86), 12 pasang hisang.
- Huring Imuq (65), 10 pasang hisang.
- Mebangsang (70), 14 pasang hisang.
- Bong Njuk (65), 18 pasang hisang.
- Paulina Payaq Mujan (80), 15 pasang hisang.
- Mebang Jenau (90), hisang dilepas.
- Yeq Lawing (67), 37 pasang.
- Hong Song (68), hisang tak terdata.
- Telen Isun (70), hisang dilepas.
- Tipung Ping (65), 23 pasang hisang.
- Long Tekwan (80), hisang kiri 14, hisang kanan 15 hisang.
- Lurak Ding (80), 10 pasang hisang.
- Lemik Uvat (70), 12 pasang hisang.
- Cristina Ping Asun (67), 10 pasang hisang.
- Marsita Bong (59), 20 pasang hisang.
- Uring Payaq (80), 11 pasang hisang.
- Hong Mering (64), 29 pasang hisang.
- Mujan Doq (76), hisang kiri 16, hisang kanan 20 hisang.
- Kahat Kunu (70), 32 pasang hisang.
Sementara di Samarinda ada Dahanging (74) yang sudah tidak memakai belaung. Dahanging adalah adik Pastor Bong yang dulunya memanjangkan kupingnya saat masih menganut kepercayaan Kaharingan. Ketika Bong memeluk Katolik, kuping panjangnya dipotong.
Di Pampang ada dua orang, salah satunya adalah Uweq Periyag (64) dengan 21 pasang belaung (hisang).
Pebungan (80) dari Dayak Kenyah Umaaq Jalan tercatat tinggal di Muara Badang, Kutai Kartanagara punya 22 pasang belaung.
Di Kabupaten Kutai Barat setidaknya terdata ada 4 perempuan kuping panjang dari sub suku Dayak Kenyah, mereka adalah:
- Piyoq (65), 13 pasang belaung.
- Pejelau Usat (75), memakai belaung bituk (bentuknya mirip gasing dari kuningan).
- Pesulau (72), tanpa belaung.
- Pepiusat (70), bersama suaminya, belaung dengan model yang berbeda di kuping panjang mereka.
Para perempuan inilah dan beberapa lagi yang belum sempat terdata, menjadi benteng terakhir perawat tradisi diujung kepunahan itu. Jika uzur mereka menemui takdirnya, entah warisan budaya leluhur yang agung ini mungkin tinggal kisah yang akan diceritakan nanti.
Bersambung……
Baca pula:
Bagian 1: Bertaruh Nyawa Menuju Kampung
Bagian 2: Bergantung Pada Ces
Bagian 3: Kegundahan Dari Ladang Meraseh
Bagian 4: Dari Gaharu, Sawit Hingga Hutan
Bagian 5: Mereka Bersekolah Di Long Isun, Kampung Di Tepi Sungai
Bagian 6: Perempuan Kuping Panjang: Keagungan Di Ujung Takdir Pupus
Bagian 7: Tato Perempuan Dayak: Simbol yang harus dibawa mati