Ini adalah bagian kesepuluh dari 11 tulisan catatan perjalanan yang dilakukan Ronny A. Buol ke pedalaman Kalimantan pada 2016 lalu. Bagian sebelumnya dapat dibaca di: Perempuan Kuping Panjang yang terus tergerus zaman.
Matahari mulai meninggi, saat Tipung Ping dan Yeq Lawing bergabung bersama warga lainnya di Lamin Adat Datah Suling, Kampung Long Isun Data Suling. Kedua perempuan berkuping panjang ini tak mau ketinggalan saat warga kampung lainnya mempersiapkan diri ikut serta pada Hudoq Pekayang keesokan harinya di Long Tuyoq.
Malam sebelumnya, Tipung Ping dan Yeq Lawing yang berkarib sejak kecil menarikan tari gong dan tari bunang tatat di lamin itu. Walau sudah tua, namun tenaga Yeq Lawing masih lincah saat meniru loncatan katak kala mengikuti ritme petikan sapeq. Pun demikian Tipung Ping yang masih mampu menyeimbangkan tubuh berdiri di atas gong sambil menari.
Pagi sebelumnya Jiuq dan Bang membantu para lelaki mengambil daun pinang dan daun pisang yang masih hijau. Itu adalah bahan utama pembuatan baju para pelakon Hudoq. Di lamin, saat semua warga berkumpul, mereka bergotong royong mempersiapkan segalanya.
Dalung (11) dan Linkon (11) yang masih duduk di kelas 6 SD tidak mau ketinggalan. Mereka pun belajar merangkai daun pinang dan daun pisang yang dijalin pada kulit kayu menjadi baju Hudoq. Sesekali, bagian-bagian baju itu diukur pada Juq Timang (17).
Juq, tahun ini ditunjuk oleh warga Datah Suling menjadi salah satu dari pelakon Hudoq. Juq memang mahir melakonkan Hudoq. Siswa SMA ini menjadi anggota Sanggar Seni Apau Punyaat yang didirikan di Long Isun.
“Sanggar itu menjadi salah satu cara agar tradisi leluhur kami terwariskan pada generasi berikutnya,” jelas Kuleh Liah, pensiunan guru yang cukup dihormati di Datah Suling.
Lamin menjadi ramai. Mereka bekerja dengan riang dengan iringan musik yang keluar dari sound system yang digerakan dengan tenaga matahari. Datah Suling belum terjangkau aliran listrik dari PLN. Budoq anak Tipung Ping terlihat cekatan merangkai daun lubaq untuk dijadikan topi. Topi itu akan digunakan pada keesokan harinya saat Hudoq Pekayang digelar.
Kalender kehidupan
Bagi Dayak Bahau, terlebih sub suku Dayak Bahau Umaaq Suling, tanah tak sekedar dimaknai sebagai tempat tinggal keluarga dan masyarakat adat. Tanah adalah kehidupan bahkan diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa pelindung dan roh para leluhur.
Warga Long Isun, termasuk Yeq Lawing, perempuan berkuping panjang, sedang sibuk mempersiapkan Hudoq. (Foto: Ronny A. Buol)
Hukum adat mereka telah mengatur bagaimana hak penguasaan tanah dan pemanfaatannya. Hukum adat itu mencerminkan penghormatan terhadap alam dan hubungan yang harmonis dengan manusia.
Mereka juga meyakini bahwa benda-benda di langit (tata surya) diciptakan oleh Yang Maha Kuasa agar punya faedah bagi keberlangsungan semesta dan kehidupan manusia. Matahari, bulan dan bintang bagi mereka adalah petunjuk menjalani kehidupan, seperti membangun rumah, pernikahan dan terutama mengolah tanah ladang.
Hudoq kawit adalah bagian dari siklus mengolah tanah ladang yang didasarkan pada kalender kebudayaan yang telah diwariskan para leluhur mereka. Bagi Dayak Bahau, mencari ladang, membuka dan membersihkannya, menanaminya harus berpatokan pada kalender kebudayaan yang dimusyawarahkan secara adat itu.
Pola perladangan yang hingga kini dipatuhi Dayak Bahau Umaaq Suling dimulai dengan musyawarah adat penentuan dimulainya membuka lahan yang dipimpin seorang Hipui (tokoh adat). Biasanya ini dilakukan pada bulan Mei dan saat bulan dilangit pada posisi Mahaaq (sabit).
Setelah itu tahapannya adalah mitang tanaaq (membuat patok lahan dan mendirikan pondok darurat); nesak lumaq (mencari pertanda baik untuk menggelar palaaq dau atau gotong royong); nevang – mulap (menebang pohon); nutung (membakar).
Tahapannya selanjutnya adalah nugal atau menanam benih padi. Menugal harus melalui penetapan yang dilakukan musyawarah adat dengan melihat perjalanan matahari berdasarkan kalender yang telah dibuat para leluhur mereka.
Menugal merupakan salah satu moment yang ditunggu oleh warga. Sebab menugal dilakukan secara gotong royong. Warga secara bergilir saling membantu menanam bibit padi di ladang-ladang yang sudah siap ditanami.
Hudoq Kawit digelar saat menugal sudah selesai dilakukan. Gerakan tarian hudoq dipercayai turun dari nirwana untuk mengenang leluhur mereka, yang diyakini berada di sekeliling anak cucunya saat musim tanam tiba. Lewat hudoq-lah orang Dayak Bahau memohon bimbingan dari roh-roh leluhur yang dijuluki sebagai Jeliwan Tok Hudoq.
Apo Kayan, sebuah tempat di sungai Mahakam paling hulu, dipercayai tempat muasal Asung Luhung, ibu besar yang diturunkan dari langit, yang memberi perintah kepada Tok Hudoq. Dia diperintahkan menemui manusia. Misinya membawa kabar kebaikan sambil memberi benih dan tanaman obat-obatan.
Namun karena wujudnya yang menyeramkan, Tok Hudoq mengenakan baju samaran manusia setengah burung serta bertopeng. Tradisi itu mengkristal dalam tarian hudoq hingga sekarang. Para penari menyembunyikan diri mereka dalam rupa topeng, serta berbalut pakaian dari kulit kayu yang dibungkus dengan jalinan daun pisang atau daun pinang hingga ke kaki.
Biasanya satu kelompok penari hudoq terdiri dari 13 orang yang melambangkan jumlah dewa yang memelihara padi. Jumlah penari hudoq juga menjadi simbol jenis hama yang menganggu tanaman di ladang. Hama itu terwakili dari rupa topeng hudoq yang menyerupai binatang buas.
Kesibukan warga Datah Suling siang itu di lamin adalah bagian dari ritual merayakan kehidupan dalam pola perladangan yang mereka hormati. Sementara Juq akan “menjelma” menjadi salah satu dewa, Tipung Ping dan Yeq Lawing bersama ribuan warga Bahau lainnya akan menarikan ngarang, sebuah ritme simbol persabahatan dan persaudaraan para penghuni tanah di hulu Mahakam.
Bersambung …..
Baca pula:
Bagian 1: Bertaruh Nyawa Menuju Kampung
Bagian 2: Bergantung Pada Ces
Bagian 3: Kegundahan Dari Ladang Meraseh
Bagian 4: Dari Gaharu, Sawit Hingga Hutan
Bagian 5: Mereka Bersekolah Di Long Isun, Kampung Di Tepi Sungai
Bagian 6: Perempuan Kuping Panjang: Keagungan Di Ujung Takdir Pupus
Bagian 7: Tato Perempuan Dayak: Simbol yang harus dibawa mati
Bagian 8: Perempuan Kuping Panjang: Berjuang kala uzur demi merawat tradisi
Bagian 9: Perempuan Kuping Panjang yang terus tergerus zaman