bar-merah

Hudoq Pekayang: ketika roh-roh leluhur menyapa

Hudoq Pekayang
Hudoq pekayang (Foto: Ronny A. Buol)
Ini adalah bagian terakhir dari 11 tulisan catatan perjalanan yang dilakukan Ronny A. Buol ke pedalaman Kalimantan pada 2016 lalu. Bagian sebelumnya dapat dibaca di: Perempuan kuping panjang dalam pusaran ritual hidup Dayak Bahau

SUASANA riuh terjadi di Matingan, seberang sungai Kampung Long Tuyoq. Ilalang di bawah pohon-pohon bambu itu sengaja dibersihkan. Matingan, menjadi tempat singgah warga Dayak Bahau dari 13 kampung yang ada di Kecamatan Long Pahangai, siang itu, 22 Oktober 2016.

Ribuan masyarakat suku Dayak Bahau mendatangi Long Pahangai. Mereka akan merayakan Hudoq Pekayang yang mulai dijadikan agenda festival tahunan oleh Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu. Kali ini kampung Long Tuyoq menjadi tuan rumah.

Pun demikian dengan Tipung Ping yang membawa lengkap keluarganya. Dia terlihat sangat cantik dengan pakaian motif Dayak yang sungguh berwarna. Tak lupa Tipung Ping mengenakan ikat kepala yang dibuat dari daun lubaq dan dipermanis dengan beraneka bunga. Amai Ding, suaminya tidak mau ketinggalan.

Amai bersama para lelaki Kampung Long Isun juga datang lengkap dengan simbol-simbol budaya Dayak mulai dari topi, bulu burung Enggang, baju, kalung, mandau, perisai hingga celana. Hari ini semuanya akan bergembira, merayakan ritual warisan leluhur mereka, Hudoq.

Matingan disediakan oleh Panitia Hudoq Pekayang menjadi tempat transit warga dari 13 kampung sebelum festival itu dibuka oleh Bupati Mahakam Ulu, Bonifasius Belawan Geh. Bupati menginginkan ritual Hudoq bisa menjadi agenda tahunan pemerintah kabupaten dalam upaya melestarikan nilai-nilai budaya di Mahakam Ulu.

Sementara Juq disibukkan dengan memasang baju Hudoq, topeng-topeng dari kayu yang mengejahwantahkan kehadiran para dewa disiapkan oleh para tetua kampung. Suasana menjadi terasa magis, saat para perempuan Dayak mulai melantunkan syair tradisi mereka lewat nyanyian khas, diirigi dengan tetabuhan musik tradisional.

Saat bayangan matahari mulai condong ke Timur, suasana semakin riuh. Long boat berukuran besar mulai menyeberangkan warga menuju lokasi penyelenggaraan Hudoq Pekayang. Sungai Mahakam pun menjadi begitu berwarna. Setiap kampung tampil dengan ciri khas yang berbeda. Sungguh, Dayak Bahau dikarunia warisan budaya yang memesona.

Raungan suara dari pelakon Hudoq, termasuk Juq, dilantangkan sepanjang perjalanan menuju ke lapangan sebagai pusat perayaan ritual kehidupan. Bupati Bonafasius kemudian menabuh tubung sebagai tanda ritual dimulai. Sontak pelakon Hudoq yang berjumlah ratusan itu memulai ritus mereka.

Setiap pelakon melakukan gerakan mistis dengan ritme tinggi. Nada repitasi dari tetabuhan tubung dan gong menjadi penuntun. Selama bebunyian itu melantun, para penari hudoq terus melakukan gerakan maju sambil menghentak kaki. Gerakan itu dibarengi dengan tangan yang mengibas-ngibas meniru gerakan sayap seekor burung. Sesekali suara khas keluar dari mulut mereka.

Tarian ini bermakna mengusir hama penyakit agar tidak menyerang tanaman padi. Roh-roh leluhur pun diyakini datang menyapa. Penari Hudoq pun kian larut dalam gerakan nyidok, yaitu gerakan maju sambil menghentak kaki, lalu disusul gerakan ngedok, dengan menghentakan kaki dengan tumit diiringi gerakan tangan yang mengibas-ngibas. Gerakan memutar ke kiri mengandung makna membuang sial dan memutar ke kanan untuk mengambil kebaikan.

Seolah mendapat kekuatan dari para dewa, para penari Hudoq mampu melakukan gerakan repitasi ini berjam-jam lamanya. Padahal tubuh mereka terkurung di dalam baju dari dedaunan dan kulit kayu serta wajah bertopeng. Penari Hudoq hanya beristirahat sesaat menjalang malam, lalu melanjutkan ritus Hudoq hingga fajar menyapa.

Sementara ratusan Hudoq menari di tengah lapangan, Tipung Ping dan Yeq Lawing bersama ribuan warga Bahau lainnya membentuk barisan melingkar. Mereka melakonkan tarian ngaraang. Gerakan berulang membentuk lingkaran besar ini ditarikan sejak sore hingga keesokan paginya, tanpa henti.

Ritus magis Hudoq dan ngaraang itu baru akan benar-benar berhenti saat lonceng gereja bertalu memanggil umat menghadap Sang Ilahi. Agama Katolik menjadi kepercayaan dominan yang dianut di Dayak Bahau. Dan warga dari 13 kampung baru akan pulang saat musyawarah adat selesai digelar di lamin.

Namun prosesi merayakan kehidupan dari siklus perladangan itu belum benar-benar selesai. Hudoq akan dilanjutkan dengan Hudoq Kawit di kampung masing-masing, termasuk di Datah Suling Long Isun. Sebab setelah hudoq kawit digelar, kalender kebudayaan mereka masih punya tahapan, yakni navau (membersihkan rumput) dan ngelunau (memanen padi).

Dan ketika topeng Hudoq digantung kembali di setiap rumah menunggu ritual tahun berikutnya, Tipung Ping dan Yeq Lawing kembali pada rutinitas keseharian dan bertekad menjaga warisan pitarah sampai takdir datang menyapa.

TAMAT

Baca pula:

Bagian 1: Bertaruh Nyawa Menuju Kampung
Bagian 2: Bergantung Pada Ces
Bagian 3: Kegundahan Dari Ladang Meraseh
Bagian 4: Dari Gaharu, Sawit Hingga Hutan
Bagian 5: Mereka Bersekolah Di Long Isun, Kampung Di Tepi Sungai
Bagian 6: Perempuan Kuping Panjang: Keagungan Di Ujung Takdir Pupus
Bagian 7: Tato Perempuan Dayak: Simbol yang harus dibawa mati
Bagian 8: Perempuan Kuping Panjang: Berjuang kala uzur demi merawat tradisi
Bagian 9: Perempuan Kuping Panjang yang terus tergerus zaman
Bagian 10: Perempuan kuping panjang dalam pusaran ritual hidup Dayak Bahau




Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com