Usai makan, istirahat sejenak dan mengisi daya baterai handphone, sekitar pukul 18.15 WITA kami melanjutkan perjalanan.
Malam mulai turun dan kecepatan sepeda motor tidak selaju saat siang tadi. Saya lebih berhati-hati memacu kecepatan, walau memang harus berburu waktu.
Kami kembali istirahat di Sangkub pada pukul 21.00 WITA. Sudah 200 KM kami tempuh.
Saya bertanya ke Gita, apakah dia capek. Remaja ini menjawab dengan mantap, bahwa tubuhnya masih terasa segar dan meminta saya tak mengkhawatirkannya.
Baca: Kisah Perjalanan Gita Bagian 2
Sejam kami berisitirahat di Sangkub. Saya mengisi jeda itu dengan menelan obat maag. Beberapa hari sebelumnya maag saya memang kambuh.
Gita menghubungi keluarga dan beberapa temannya. Saya meminta dia memberitahu dosennya, sebab dia tidak sempat meminta ijin.
Pukul 21.00 WITA kami melanjutkan perjalanan kembali, dan mampir mengisi bahan bakar. Saya mengingatkan Gita untuk rajin minum air. Kami berdua membawa tumbler.
Melakukan perjalanan malam untuk jarak jauh sebenarnya lebih aman. Karena konsentrasi bisa lebih waspada, terutama di tikungan. Lampu dari kenderaan yang berlawanan akan membuat kita lebih antisipatif dibanding jika siang.
Begitu pula, saat malam hari jalanan cenderung lebih sepi dibanding siang hari.
Sepeda motor kami pacu dalam kecepatan rata-rata 80KM/jam. Setelah dua jam berkendara tanpa henti, kami istirahat di Buroko, Bolaang Mongodow Utara pada pukul 22.45 WITA.
Ada sebuah cafe di ketinggian tepi jalan yang sangat cocok untuk istirahat. Pemandangan dari cafe itu cukup indah. Kami memesan kopi dan merenggangkan otot kaki.
Saat istirahat itu saya membaca pesan baik melalui sms, whatsapp maupun aplikasi messanger. Kami pun ikut mengupdate perkembangan berita terkini di Pasigala. Jumlah korban terus bertambah.
Jadi Assisten
Salah satu isi pesan Whatsapp meminta saya menghubungi jika sudah membaca isi pesannya. Itu datang dari Yunaidi, mantan fotografer National Geographic Indonesia, yang kini bekerja untuk Agency Fish.
Saya beberapa kali diminta Yunaidi mengerjakan proyek foto dan liputan. Setelahnya kami berkomunikasi melalui telepon.
Lima menit kemudian, Alyshia dari Washington DC, Amerika menghubungi saya melalui Whatsapp. Dia memperkenalkan diri dari sebuah lembaga kemanusiaan international.
Alyshia meminta saya membantu lembaganya mendapatkan foto dan video dari lokasi bencana di Pasigala secepat mungkin. Saya juga harus membuat laporan harian.
Kemampuan bahasa Inggris saya pas-pasan. Gita yang cukup mahir berbahasa Inggris menjadi penterjemah untuk komunikasi itu. Dan seketika itu juga saya meminta Gita menjadi assisten dalam perjalanan itu.
Kami lalu bersepakat untuk tugas yang diberikan oleh Alyshia. Dia akan mengirimkan dokumen-dokumen melalui email.
Sebelum kembali melanjutkan perjalanan, saya juga membalas beberapa pertanyaan teman-teman wartawan dari Jakarta yang bersiap menuju Palu. Informasi masih simpang siur soal akses masuk Palu.
Longsor masih menutup jalan masuk Palu baik dari arah Gorontalo, Poso untuk akses dari Sulawesi Selatan maupun Pasang Kayu dari Sulawesi Barat.
Mereka berharap saya segera tiba di Palu dan mengabarkan soal kondisi jalan masuk. Saya berjanji untuk itu.
Gita membantu translate permintaan penugasan dari beberapa pihak yang masuk di email. Semuanya kami coba jawab sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Pukul 22.45 WITA kami kembali memacu sepeda motor kami, meninggalkan Bolaang Mongondow Utara dan masuk ke wilayah Provinsi Gorontalo.
(Bersambung)